Rabu, 17 November 2010

HUBUNGAN ANTARA HUKUM TATA USAHA NEGARA DENGAN PERWUJUDAN TUJUAN NEGARA *Oleh : Muhadi

*Oleh : Muhadi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hukum Tata Usaha Negara mempunyai peristilahan lain yang sering kita dengar dalam nomenklaturnya yang berbeda. Sebagian mengunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan dan yang lainnya dengan istilah Hukum Administrasi Negara. Dalam konteks ini penulis gunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara, dengan pertimbangan, istilah lain seperti Hukum Administrasi Negara misalnya, mempunyai makna yang hampir sama dengan cabang ilmu lain, sehingga terkadang rancu dengan pengertian ”administrasi” oleh disiplin ilmu lain, terlebih ilmu administrasi, khususnya Ilmu Administrasi Negara, yang kedua-duanya mengandung konotasi negara atau publik, sehingga tidak perlu atribusi istilah seperti negara atau publik. Pengaturan Hukum Administrasi Negara khususnya di Indonesia sangat luas yang salah satunya adalah Hukum Tata Usaha Negara, yang merupakan hukum tentang birokrasi negara, tentang penyelenggaraan komunikasi, registrasi, statistik, dan lain-lain pekerjaan kantor-kantor pemerintah serta surat-surat keterangan lainnya .
Hukum Tata Usaha Negara mengkaji kekuasaan aparatur pemerintah dan perbuatan pemerintah yang dapat melahirkan hak dan kewajiban. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, pemerintah dapat berbuat dan bertindak tegas dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugasnya sesuai kewenangannya. Dewasa ini kekuasaan administrasi negara menunjukkkan kecenderungan semakin kuat, terutama sejak konsep penerjemahan negara hukum materiil kembali mengilhami negara kita semenjak amandemen UUD 1945 di finalkan pada tahun 2002. Konsep negara hukum materiil yang dinamis atau yang lebih terkenal dengan istilah welfare state menuntut campur tangan negara begitu luas, dimana negara mencampuri tidak saja urusan-urusan eksekutif. Negara dituntut cepat dan tanggap dalam upaya mensejahterakan rakyat. Kongkritisasi dari konsep negara hukum marteriil tersebut adalah dalam bentuk regulasi dan kebijakan-kebijakan yang dituntut selalu cepat untuk mengoptimalkan tujuan negara.
B. Permasalahan
Konsep negara hukum formal di awali dari kemunculan asas demokrasi di Eropa, dimana hak-hak politik rakyat dan hak-kak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu maka kemudian timbul gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Diantara konstitusi inilah bisa ditentukan batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak-hak politiknya, sehingga konsekwensinya kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan lembaga lain. Gagasan inilah yang kemudian dikenal konstitusionalisme. Salah satu ciri penting dalam negara yang menganut konstitusionalisme (demokrasi konstitusional) adalah sifat negara/pemerintahnya yang pasif, artinya pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana dari berbagai keingginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. Disini peran negara lebih kecil daripada peran rakyat, karena pemerintah hanya menjadi pelaksana (tunduk pada) keinginan-keinginan rakyat yang diperjuangkan melalui wakil-wakilnya. Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah .
Perumusan yuridis tentang gagasan konstitusionalisme dicapai pada abad 19 dan permulaan abad 20 yang ditandai dengan pemberian istilah rechtstaat yang diberikan peristilahannya oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental atau rule of law yang merupakan peristilahan dari kalangan ahli Anglo Saxon. Rechtstaat atau rule of law yang di Indonesia diterjemahkan dengan ”negara hukum” ini pada abad 19 sampai 20 kemudian dikenal dengan peristilahan negara hukum klasik (formal) yang mempunyai ciri-ciri antara lain :
1. Hak-hak asasi manusia.
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia itu yang
biasa dikenal sebagai trias politika.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur).
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan .
Dari pencirian itu pula semakin terlibat betapa peranan pemerintah hanya sedikit, sebab disana ada dalil ”pemerintahan yang paling sedikit yang paling baik”, sehingga karena sifatnya yang pasif dan tunduk pada kemauan rakyat yang liberalistik, maka negara diperkenalkan sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam). Pemerintah sebagai nachtwachterstaat sangat sempit ruang geraknya bukan saja dalam lapangan politik tetap juga dalam lapangan ekonomi yang dikuasai oleh dalil laisser faire, laisser faire atau keadaan ekonomi negara akan sehat jika setiap manusia dibiarkan mengurus kepentigan ekonominya masing-masing. Ditinjau dari dari sudut politik, pada pokoknya tugas primer suatu negara nachtwachterstaat adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari mereka yang menguasai alat-alat pemerintah, yakni rulingclas yang merupakan golongan eklusif, sedangkan nasib mereka yang bukan rulingclas tidak dihiraukan oleh nachtwachterstaat .
Berdasarkan uraian tersebut diatas, munculah pertanyaan berkaitan dengan sejarah dan hubungan Hukum Tata Usaha Negara dengan tujuan negara Indonesia, yakni :
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan Hukum Tata Usaha Negara Indonesia ?
2. Bagaimanakah hubungan antara Hukum Tata Usaha Negara dengan tujuan negara kita
berdasarkan konstitusi negara kita ?
Pembahasan konsep tujuan negara tidak lepas dari kedua hal tersebut diatas, Permasalahan tujuan negara terkait dengan idiologi negara, paham kebangsaannya dan kebijakan politik dan hukumnya. Dengan mengetahui sejarah dalam konstitusi dan mencari hubungannya dengan tujuan negara, maka akan dapat diketahui, sebenarnya Indonesia itu penganut negara hukum seperti apa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Mengingat masih mudanya usia Hukum Tata Usaha Negara, maka masih terdapat pengertian yang beragam mengenai Hukum Tata Usaha Negara, diantaranya ada yang mendefinisikan, Hukum Tata Usaha Negara adalah rangkaian aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh alat-alat perlengkapan negara didalam menjalankan kekuasaannya. Rumusan tersebut banyak yang mengajukan keberatan sebab mempunyai makna yang sangat luas yang meliputi perbuatan hukum publik dan perbuatan hukum privat, sehingga alat perlengkapan negara sebagai suatu organ badan hukum sangat heteronom dan sangat kompleks. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Hukum Tata Usaha Negara adalah sebagai rangkaian aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara menjalankan tugasnya.
Dalam melaksanakan tugasnya dengan sendirinya alat-alat perlengkapan negara akan menimbulkan hubungan-hubungan yang disebut hubungan hukum, yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni :
1. Hubungan antara alat administrasi negara yang satu dengan alat administrasi negara yang lainnya.
2. Hubungan alat administrasi negara dengan perseorangan atau dengan warga negaranya atau dengan badan hukum swasta.
Di dalam negara hukum, hubungan-hubungan hukum tersebut disalurkan dalam kaidah-kaidah hukum tertentu yang merupakan materi dari Hukum Tata Usaha Negara. Jadi yang penting adalah perbuatan hukum alat administrasi negara dalam hubungannya dengan warga negaranya, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban, hak dan kewajiban tersebut muncul berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dapat terjadi secara :
1. Langsung , artinya tanpa perantaraan perbuatan alat administrasi negara.
2. Tidak langsung, artinya bahwa meskipun hak-hak dan kewajian-kewajiban itu telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi untuk dapat timbulnya hak-hak dan kewajiban tersebut masih diperlukan adanya perbuatan khusus dari alat administrasi negara, yang apabila dilihat dari segi bentuknya dapat berupa ketetapan, izin, dispensasi, konsesi, lisensi dan sebagainya .

B. Sejarah
Proklamasi 17 Agustus 1945 melahirkan sutu negara Indonesia merdeka yang bentuk dan sistem pemerintahannya pertama kali diatur keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam UUD 1945 . UUD 1945 dapat dipandang sebagai akte pendirian negara Indonesia dari negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI disamping disahkan UUD 1945 juga diangkat Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian pada tanggal 19 Agustus tahun 1945 oleh PPKI ditetapkan susunan kementrian negara serta pada tanggal 2 September Presiden mengangkat Menteri-menteri Negara yang masing-masing mengepalai satu departemen, yaitu :
1. Dalam Negeri;
2. Luar Negeri;
3. Kehakiman;
4. Keuangan;
5. Kemakmuran;
6. Kesehatan;
7. Pengajaran dan Pendidikan;
8. Sosial;
9. Pertahanan;
10. Penerangan;
11. Perhubungan; dan
12. Pekerjaan Umum .


Mengingat situasi saat itu, maka sistem pemerintahan menurut UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara penuh. Usaha-usaha Belanda untuk menguasai kembali negara kita akhirnya melahirkan suatu negara serikat. Masa negara serikat tidak bertahan lama karena tidak sesuai dengan semangat dan ide perjuangan bangsa. Pada tanggal 17 Agustus 1945 kembali ke negara kesatuan. Kembalinya ke negara kesatuan tidak memberlakukan kembali UUD 1945, namun dengan mengadakan berbagai perubahan untuk disesuaikan dengan bentuk negara kesatuan terhadap Konstitusi RIS. Dengan demikian jiwa konstitusi RIS dilanjutkan oleh UUDS 1950 khususnya mengenai bentuk kabinet parlementer, yang artinya menteri-menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah, baik bersama-sama atau seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Tugas pemerintah di bidang eksekutif adalah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa berusaha supaya UUD, Undang-Undang dan Peraturan-peraturan lain dijalankan. Untuk membentuk DPR dan Dewan Konstituante, dibawah UUDS 1950 telah diselenggarakan pemilu. Ternyata hasil pemilu itu kemudian menimbulkan masalah dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Sistem pemerintahan parlementer di era UUDS 1950 pada perjalanannya tidak membawa stabilitas politik, karena kabinet parlementer sering kandas jatuh ditengah jalan akibat mosi tidak percaya oleh parleman. Terlebih dengan konsep demokrasi liberal, dimana kepentingan/hak individu diberi kebebasan, maka jelas demokrasi yang terbangun di era UUDS 1950 tidak sesuai dengan semangat dan jiwa bangsa Indonesia. Akibat ketidakstabilan pemerintahan dan konstituante gagal membentuk UUD, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang intinya membubarkan konstituante dan menyatakan kembali kepada UUD 1945.
Kemudian keluarlah konsep demokrasi terpimpin yang inti dari permusyawaratan adalah “musyawarah untuk mufakat” yang bilamana hal itu tidak dapat dicapai maka musyawarah mufakat harus menempuh salah satu jalan berikut :
1. Persoalannya diserahkan kepada pemimpinnya untuk mengambil kebijaksanaan dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang bertentangan.


2. Persoalannya ditangguhkan.
3. Persoalannya ditiadakan sama sekali .
Pada perkembangannya demokrasi terpimpin ini tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, pelaksanaan pemerintahan dengan demokrasi terpimpin ternyata mengarah ke pemusatan kekuasaan ditangan Presiden, sehingga Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang “Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan” dicabut dengan ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan atau sesuai dengan Diktum Tap tersebut, yakni tentang Demokrasi Pancasila, yang kemudian kembali dicabut dengan Tap MPR No. V/MPR/1973. Bagi Demokrasi Pancasila untuk mengatasi kemacetan karena tidak dapat tercapainya mufakat bulat, maka jalan voting (pemungutan suara) bisa ditempuh.
Situasi nasional ternyata makin sulit, baik dibidang politik dan ekonomi. Keadaan ini disusul dengan meletusnya G. 30. S. PKI pada tahun 1965. Peristiwa itu sekaligus menarik garis pemisah masa pemerintahan sebelumnya dan masa pemerintahan sesudahnya yang dalam politik dikenal dengan orde lama dan orde Baru. Politik pembangunan di Indonesia ternyata telah mengembangkan peraturan Hukum Tata Usaha Negara yang menjangkau hampir seluruh lapangan kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan Pemerintahan Daerah lahir Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berkaitan dengan penanaman modal keluar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan peraturan-peraturan perundang-undangan lain seperti tentang koperasi, peternakan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Disamping pembuatan peraturan perundang-undangan tentang berbagai kehidupan masyarakat, juga telah muncul berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.


Pada tanggal 29 Desember tahun 1986 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lahirnya Undang-undang ini memberikan penghargaan tersendiri bagi Hukum Tata Usaha Negara. Disamping Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung mempersiapkan hal-hal teknis tentang pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, departemen lainnya membenahi diri dalam bidang Hukum Tata Usaha Negara seperti tentang bagaimana membuat keputusan yang baik dan benar agar tidak terjadi Gugatan Tata Usaha Negara.

C. Hubungan Hukum Tata Usaha Negara dengan tujuan negara.

Usaha memahami perkembangan peranan negara dapat pula dikaji dari perpektif negara hukum atau teori demokrasi konstitusional. Pemunculan kembali prinsip demokrasi sebagai prinsip fundamental kehidupan bernegara telah mengantarkan pada timbulnya demokrasi konstitusional yang memberikan lingkup peranan negara secara berlainan.
Demokrasi konstitusional yang hidup pada abad ke 19 yang terkenal dengan istilah negara hukum formal memberikan batasan yang sempit terhadap negara untuk memainkan peranannya. Dalam demokrasi dengan negara hukum formal, pemerintah bersifat pasif, hanya menjadi panitia kecil keingginan masyarakat yang diperjuangkan secara liberal, sehingga negara atau pemerintah lebih bersifat sebagai penjaga malam (nachtwachterstaat) karena peranannya yang kecil dan kedudukannya yang berada dibawah pengaruh rakyat (pluralisme liberal) .
Keadaan ini berubah dengan munculnya paham demokrasi konstitusional pada abad ke 20 yang merupakan reaksi terhadap negara hukum formal. Demokrasi konstitusional abad ke 20 yang dikenal dengan negara hukum materiil atau welfare state ini telah merentang tugas pemerintahan sedemikian luasnya. Pemerintah dalam negara hukum materiil, tidak boleh lagi pasif, tetapi harus aktif dan bertanggung jawab melaksanakan pembangunan masyarakatnya agar mencapai tingkat kesejahteraan maksimal. Bahkan untuk dapat melaksanakan tugasnya pemerintah diberi kewenangan yang luas untuk turut campur dalam seluruh kegiatan masyarakat, yang kemudian legalitasnya dalam Hukum Tata Usaha Negara disebut freies ermessen (discretionary power). Dan dalam rangka discretionary power ini dibidang perundang-undangan pemerintah diberi kewenangan delegatif membuat peraturan-peraturan dan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang bersifat enunsiatif .
Dalam kaitannya dengan negara Indonesia kita dapat menelusuri konsep demokrasi konstitusional dalam UUD 1945 baik yang asli atau hasil amandemen. Penemuan tentang kepastian dianutnya konsep ini penting karena dari sanalah secara konstitusional kita dapat melihat betapa besarnya atau seberapa besar peluang bagi peranan negara.
Ketentuan yang termuat dalam konstitusi kita dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen, yang awalnya diambil dari penjelasan UUD 1945 asli, dengan istilah rechtsstaat yang kemudian diangkat dalam pasal dan berbunyi ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksudkan bukanlah negara hukum dalam arti pelanggar hukum. Pengertian negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara hukum dalam arti luas, yaitu negara hukum dalam arti materiil .
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (eguality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya :
1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.
Berdasarkan ketentuan, Pasal 24 UUD 1945 negara hukum Indonesia mengenal juga adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu lingkungan peradilan disamping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan agama. Adapun PTUN sering juga diterima sebagai salah satu ciri negara hukum.
Didalam literatur memang dikenal juga ciri lain sebagi varian di dalam negara hukum, yakni adanya Peradilan Tata Usaha Negara atau peradilan administrasi (administratief rechtsspraak). Namun ciri itu tidak selalu ada di negara hukum, karena sangat tergantung pada tradisi yang melatarbelakanginya. Ciri itu biasanya ada di negara dengan latar belakang tradisi Eropa Kontinental dengan menggunakan istilah rechtstaat. Didalam rechtstaat pelembagaan peradilan dibedakan dengan adanya peradilan khusus administrasi negara karena pihak yang menjadi subyek hukum berbeda kedudukannya yakni pemerintah/pejabat tata usaha negara melawan warga negara sebagai perseorangan atau badan hukum privat. Namun di negara hukum yang berlatar belakang tradisi Anglo Saxon yang negara hukumnya menggunakan istilah the rule of law peradilan khusus tata usaha negara pada umumnya tidak dikenal, sebab pandangan dasarnya semua orang (pejabat atau bukan pejabat) berkedudukan sama didepan hukum.
Meskipun tidak sepenuhnya menganut paham negara hukum dari Eropa Kontinental, karena warisan sistem hukum Belanda, Indonesia menerima dan melembagakan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam sistem peradilannya. Sementara itu penggunaan istilah rechtstaat dihapus dari UUD 1945 sejalan dengan peniadaan Penjelasan UUD 1945. Istilah resmi yang dipakai sekarang adalah “negara hukum” seperti yang tercantum dalan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan yang menyerap substansi rechtstaat dan the rule of law sekaligus. Unsur konsepsi negara hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon (the rule of law) di dalam UUD Tahun 1945 terlihat dari bunyi Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Konsekwensi ketentuan itu adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan hukum. Ketentuan itu sekaligus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk.
Paham negara hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea IV Pembukaaan UUD 1945. Pelaksanaan paham negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.
Kesimpulan yang demikian bisa kita lihat dalam UUD 1945 yang menegaskan tentang kewajiban pemerintah yang melekat pada negara hukum materiil yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Beberapa dalil yang dapat dikeluarkan dari UUD 1945 untuk menjelaskan hal tersebut adalah :
1. Didalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, sebagai bagian dari UUD 1945 yang tidak diamandemen ditegaskan bahwa salah satu fungsi pemerintah untuk mencapai tujuan negara adalah ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial......”. dan pada akhir alinea disebutkan bahwa salah satu dasar dari lima dasar negara (Pancasila) adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Didalam batang tubuh UUD 1945 pada Pasal 33 dan 34 (termasuk hasil amandemen) diangkat pengertian yang tegas betapa negara harus aktif membangun kesejahteraan sosial dengan rumusan-rumusan sebagai berikut :
Pasal 33 berbunyi :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 34 berbunyi :
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian jelas bahwa secara konstitusional negara Indonesia menganut sistem negara hukum yang dinamis atau negara kesejahteraan (welfare state) yang dalam rangka pencapaian tujuannya menuntut konsekwensi bagi besarnya peranan negara. Dari perspektif ini kita dapat mengingat sejarah, betapa besarnya peranan negara di era orde baru, dimana terdapat alasan utama dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi yang mensyaratkan adanya stabilitas politik. Konsekwensi dari stabilitas politik adalah terkuranginya hak-hak masyarakat dalam kehidupan politik mengingat dominannya campur tangan negara dalam mencapai tujuan negara untuk mensejahteraan masyarakatnya. Alasan kepentingan umum dan kesejahteraan tersebut kemudian negara melakukan discreationary power (freies ermessen) untuk melakukan pembangunan masyarakat.
Di era reformasi dengan amanden UUD 1945, khusus Pasal-pasal yang mengatur mengenai perekonomian dan kesejahteraan sosial sebagai dasar utama dalam negara mencapai tujuannya, kelihatan bahwa Pasal-pasal krusial yang mengatur hal tersebut tidak dicabut dan bahkan disempurnakan. Tentu hal ini merupakan harapan baru upaya penerapan Hukum Tata Usaha Negara mendasar pada ketentuan dalam UUD 1945, lebih dapat diaplikasikan dengan tetap memperhatikan hak-hak masyarakat sebagai individu maupun sebagai warga negara.

oo00oo


BAB III
KESIMPULAN

Tidak dapat dipungkiri konsep negara hukum formal yang lahir pada sekitar abad 19 di Eropa telah mengalami perkembangan dan bergeser kearah konsep negara hukum materiil, sebagai akibat konsep lama terlalu kaku dan tidak mampu menjawab setiap persoalan yang muncul dalam negara, yang butuh penyelesaian secara cepat.
Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan kehidupan ketatanegaran di Indonesia dari sistem pemerintahan parlementer dengan bentuk negara serikat tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Tujuan negara yang hendak dibangun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat berkaitan erat dengan idiologi kenegaraannya. Situasi politik yang tidak stabil berpengaruh sebagai akibat idiologi negara yang belum mapan dalam sejarahnya telah menghambat negara dalam usahanya mencapai tujuan negara. Akhirnya dicapailah sepakat untuk membingkai kesepakatan mendasar tersebut dalam konstitusi kita, yang secara tegas dan jelas mengamanatkan agar negara lebih banyak ikut campur tangan dalam rangka mencapai tujuan negara. Kembalinya kita dengan sistem pemerintahan Presidensial baik pada era orde lama, orde baru maupun era reformasi telah memberi rambu besar terhadap penguatan institusi eksekutif yang pada sejarah perkembangan Hukum Tata Usaha Negara telah membuktikan penerapan konsep negara hukum materiil di negara Indonesia.
Hukum Tata Usaha Negara sebagai salah satu cabang ilmu hukum yang masih muda diharapkan mampu menjadi alat negara dalam mencapai tujuannya, mengingat Hukum Tata Usaha Negara mengatur sendi-sendi kehidupan yang sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tidak dapat melihat bagaimana negara mampu beraksi tanpa adanya aturan main yang jelas mengenai bagaimana aksi tersebut dilakukan, bagaimana mekanismenya, bagaimana keputusan-keputusan para Pejabat Tata Usaha Negara itu diatur, agar sesuai dengan kewenangannya dan tidak melanggar hak-hak warga negaranya. Semua itu merupakan bidang garapan Hukum Tata Usaha Negara.
Konstitusi kita juga telah secara tegas dan jelas mengatur mengenai kewenangan negara dalam upaya mencapai tujuan negara. Adanya ketentuan mengenai perekonomian nasional dan kesejahan sosial yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum perubahan UUD 1945 merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan negara sebagai negara kesejahteaan (welfare state), sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Didalam rumusan Pasal 27, 33 dan 34 terkandung maksud untuk lebih mendekatkan gagasan negara kesejahteraan dalam Pembuaan UUD 1945 ke dalam realitas.
Negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan, berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara diberbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan publik (public services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.


oo00oo
















DAFTAR PUSTAKA


Faried Ali, Msc., S.H., Drs. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Rajawali Pres.
Muchsan, S.H. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1982.
Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Dr., Prof., 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,
PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Philipus M. Hadjon, S.H., Dr, Prof. dkk, 1993, Pengantar Hukum Adminitrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrasi Law, Gadjah Mada University Press, Bulaksumur, Yogyakarta.
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, 2006, Sekretariat Jenderal MPR RI.


oo00oo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYAH… sudahkah mencoba ngobrol dengan anak-anak? Alhamdulillah jika sudah dan teruskan hal itu sesering mungkin sambil kita belajar terus...