Senin, 29 November 2010

legal drafting oleh Muhadi

BAB I
PENDAHULUAN

Produk hukum, khususnya produk hukum daerah merupakan sebuah media bagi Pemerintah Daerah untuk menuangkan usulan-usulan, kebijakan-kebijakan dan/atau aspirasi-aspirasi masyarakat untuk tujuan pembangunan daerah. Diharapkan dari produk hukum daerah tersebut mampu ditetapkan aturan-aturan yang dapat menunjang pembangunan daerah ke arah yang lebih maju. Namun pada kenyataannya banyak produk hukum daerah yang belum mampu memfasilitasi proses pembangunan demi kemajuan daerah.
Pada tataran implementatifnya, sebuah produk hukum daerah harus tepat sesuai sasaran yang diinginkan dari diberlakukannya produk hukum daerah tersebut dan juga bermanfaat bagi masyarakat. Ini merupakan tugas berat dari perancang peraturanperundang-undangan untuk dapat menghasilkan produk hukum daerah yang sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Kenyataannya seringkali para perancang pada instansi teknis maupun bagian hukum, tidak/belum dapat menerjemakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah disusun ke dalam produk hukum daerah yang diterapkan secara efektif. Para perancang (drafter) gagal karena :
1. Mitos bahwa perancang tidak menangani urusan kebijakan, sebab yang membuat produk hukum daerah adalah para pejabat Pemerintah Daerah atau bersama DPRD ketika dalam format Perda dan bukan tanggung jawab perancang.
2. Penyusunan rancangan produk hukum daerah tidak mendasarkan pada pemikiran logis berdasarkan fakta dimasyarakat.
3. Terbatasnya perancang yang memiliki pemahaman atas teori, metodologi dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang dapat secara jelas menerjemakan kebijakan pemerintah menjadi produk hukum daerah yang dapat dilaksanakan secara efektif.
Akibat dari hal tersebut, maka tidak mengherankan bila perancang produk hukum daerah pada instansi teknis maupun bagian hukum kembali pada kebiasaan yang bermasalah sekedar merancang produk hukum daerah dengan cara menyadur peraturan perundang-undangan pusat atau daerah yang lain atau sekedar berdasarkan kompromi keinginan dari kelompok-kelompok dominan di pemerintahan atau masyarakat. Disamping itu kendala lain masih seputar kemampuan legal drafter dalam melakukan legal drafting yang masih lemah, terutama dalam melakukan interprepretasi otentik, memahami latar belakang yuridis dan sosiologis serta kelemahan sistematika.
Pada bagian lain dalam penetapan kebijakan publik, unsur-unsur masyarakat belum secara maksimal dilibatkan. Disinilah peran Naskah Akademik yang merupakan penengah yang menjembatani antara kepentingan eksekutif dan legislatif yang sarat kepentingan politik, sehingga dapat meminimalisir kepentingan yang tidak memihak kepada masyarakat. Dua hal tersebut yang penulis coba urai dalam Bab-Bab berikutnnya.

*00*












BAB II
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Ketrampilan menyusun peraturan perundang-undangan, bukanlah dominasinya orang-orang yang bekerja disektor hukum atau sarjana hukum saja. Belajar teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tidak akan lepas dari belajar hukum dan ketika belajar hukum maka tidak akan lepas dari sistem hukum, kaidah hukum dan asas-asas hukum.
Membaca sistem hukum berarti harus paham pula bagaimana sistem hukum yang dianut dinegara kita, namun untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka fokus bahasan dititikberatkan pada bagaimana menyusun produk hukum daerah yang baik. Pembentukan produk hukum daerah yang baik akan terwujud, ketika menguasai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan (legislative drafting) dimaknai sebagai :
“ Sebuah ilmu pengetahuan yang merupakan aturan-aturan tertentu yang dapat diletakkan sebagai aplikasi umum terhadap semua tindakan-tindakan /langkah-langkah yang muncul dalam “perencanaan undang-undang”(drafting) dan juga sebagai satu perangkat (set) aturan tertentu yang selalui diobservasi oleh semua pembuat undang-undang untuk tujuan (dari) pemakai metode yang terjamin aman dalam draf-draf mereka”

A. Perihal Kaidah Hukum.
Didalam kehidupan masyarakat, manusia terikat oleh peraturan pergaulan hidup yang berlaku dalam masyarakat itu, yang disebut norma-norma atau kaidah-kaidah. Norma atau kaidah pada hakekatnya adalah merupakan perumusan atau pandangan mengenai perilaku atau sikap tindak. Selanjutnya norma atau kaidah itu menjadi pedoman atau patokan bagi manusia dalam bertingkah laku. Norma atau kaidah yang menjadi pedoman tingkah laku di bagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Kaidah yang mengatur aspek hidup pribadi, meliputi :
a. Kaidah agama/kepercayaan.
b. Kaidah kesusilaan
2. Kaidah-kaidah yang mengatur aspek hidup antar pribadi, meliputi :
a. Kaidah kesopanan.
b. Kaidah hukum.
Keempat kaidah tersebut masing-masing dapat dibedakan satu dengan yang lain, namun tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang erat dengan yang lain. Kaidah keagamaan/kepercayaan ditujukan untuk kesucian hidup antar pribadi, kaidah kesusilaan tertuju untuk kebaikan akhlak dan kebersihan hati nurani manusia.
Kaidah kesopanan bertujuan untuk adanya kenyamanan didalam hidup bersama, dimana manusia mengetahui dan menyadari kedudukannya masing-masing dan saling menghormati satu dengan yang lain, sehingga didalam kehidupan masyarakat terdapat suasana yang menyenangkan.
Untuk menjamin ketertiban didalam masyarakat dan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang terdapat didalam masyarakat, maka kaidah hukum dengan sanksinya yang tegas ditujukan untuk terselenggaranya kepentingan tersebut agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara teratur, tertib, aman dan tentram.
Menurut Soerjono Soekanto, maka kaidah hukum tertuju pada perdamaian hidup pribadi yang meliputi 2 hal yaitu :
1. Ketertiban extern antar pribadi.
2. Ketertiban intern pribadi.
Selanjutnya kaidah hukum mempunyai tugas untuk memberikan kepastian dan kesebandingan didalam hukum. Jika tugas yang dwi tunggal itu dihubungkan dengan tujuan hukum, maka pemberian kepastian hukum bertujuan kepada ketertiban, sedangkan pemberian kesebandingan bertujuan kepada ketenangan pribadi. Dengan demikian jelas bahwa hukum ditujukan baik kepada kepentingan umum maupun untuk kepentingan pribadi.
B. Tata Urutan Perundang-Undangan dan Jenis Produk Hukum.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Sebagai norma dasar maka yang penting dalam setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dijiwai Pancasila yang termanifestasikan dari pasal-pasal didalamnya. Kelima sila yang terkandung dalam Pancasila menjadi norma dasar (grundnorm).
Kekacauan tata urutan atau hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia telah terjadi sejak periode orde lama sampai menjelang era reformasi. Mengenai hal ini patut disimak pendapatnya Sirajuddin yang mengatakan bahwa :
“Penempatan hirarkhi peraturan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dianut di Indonesia sejak Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 hingga UU No. 10 Tahun 2004 terbilang cukup unik, karena tidak ada suatu sistem hukum positif di dunia ini yang secara khusus mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturannya sebatas pada asas yang menyebutkan misalnya, Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”. Mengapa tidak diatur ? Antara lain karena tata urutan mempunyai konsekwensi. Bahkan setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Peraturan perundang-undangan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi, maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan atau batal demi hukum. Konsekwensi ini telah dianggap ada walaupun tidak diatur”.

Faktor lain yang menyebabkan tidak ada kelaziman mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum positif tidak hanya berupa peraturan perundang-undangan, melainkan juga hukum tidak tertulis (yurisprudensi, hukum adat dan hukum kebiasaan). Kaidah-kaidah hukum tidak tertulis ini dapat juga digunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau sebaliknya , walaupun tidak bertalian dengan tata urutan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) ditentukan hirarkhi peraturan perundang-undangan meliputi :
1. UUD 1945.
2. UU/Perpu.
3. PP.
4. Perpres.
5. Perda.
Sedangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permendagri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah ditentukan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dan penetapan. Hirarkhi yang bersifat pengaturan yakni :
1. Perda atau sebutan lainnya.
2. Peraturan Kepala Daerah.
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah.
Dalam pembagian selanjutnya yang bersifat penetapan meliputi :
1. Keputusan Kepala Daerah.
2. Instruksi Kepala Daerah.

C. Bentuk Produk Hukum Menurut Jenis dan Sifatnya.
Seperti disinggung pada bahasan diatas, jika dikelompokkan sifat produk hukum terdiri atas yang bersifat pengaturan (regeling) dan yang bersifat penetapan (beschikking). Pembagian ini penting, mengingat dalam sistem hukum modern, hukum tertulis semakin memegang peranan penting dalam penyelengggaraan pemerintahan, karena salah satu ciri hukum modern adalah sifatnya yang tertulis.
Dilihat dari bentuk jenis dan sifatnya produk hukum dapat dibedakan menjadi 2, yakni peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling) dan yang bersifat keputusan/penetapan (beschikking).
Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004, peraturan perundang-undangan didefinisikan peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Sementara keputusan/penetapan/ketetapan adalah :
“ Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata”.

Dimuka telah disebutkan bahwa kaidah hukum termasuk dalam golongan tata kaidah yang mengatur aspek hidup antar pribadi, sehingga kaidah hukum atau norma suatu peraturan perundang-undangan dapat berisi suatu perintah (suruhan), suatu larangan atau suatu perizinan (kebolehan).
D. Proses Pembentukan Perda.
Pembentukan Perda adalah proses pembuatan Perda yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, pembahasan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Dalam mempersiapkan pembahasan dan pengesahan Raperda menjadi Perda, harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Mengenai proses pembentukan Perda dapat berasal dari DPRD atau Kepala Daerah, Hal ini diatur dalam Pasal 26 UU No. 10 Tahun 2004 dan Pasal 140 UU No. 32 Tahun 2004.
Proses pembentukan Perda menurut Permendagri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Prolegda merupakan instrumen perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 5 Permendagri 16 Tahun 2006 menerangkan bahwa produk hukum daerah yang bersifat pengaturan (Perda didalamnya) dapat disusun oleh Pimpinan SKPD yang dapat mendelegasikan penyusunan Perda kepada Biro atau Bagian Hukum, dimana dalam proses penyusunan Perda tersebut dibentuk Tim antar SKPD yang diketuai Pimpinan SKPD pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Bagian Hukum atau Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai Sekretaris.
Langkah selanjutnya seperti diatur dalam Pasal 6 Permendagri 16 Tahun 2006, bahwa Raperda tadi dilakukan pembahasan dengan Bagian Hukum dan SKPD terkait dengan materi pembahasan menitikberatkan pada permasalahan yang bersifat prinsip mengenai obyek yang diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sesudah melakukan pembahasan, Raperda tersebut harus mendapatkan paraf koordinasi Kepala Bagian Hukum dan Pimpinan SKPD terkait, untuk kemudian diajukan kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah, dimana Sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap Raperda.


Raperda yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan serta dilakukan pembentukan Tim Asistensi dalam rangka pembahasan yang diketuai Sekretaris Daerah atau Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Demikian juga sebaliknya bahwa dalam rangka pembahasan Raperda atau sebutan lainnya atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pimpinan SKPD sesuai tugas dan fungsinya. Adapun dalam pembahasan Raperda di DPRD, baik atas inisiatif Kepala Daerah atau DPRD dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat pada Bagian Hukum.
Dalam hal pembahasan Raperda antara DPRD dan Kepala Daerah, biasanya permbahasan tersebut dilakukan melaui empat tingkatan pembicaraan, yaitu :
1. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi :
a. Penjelasan Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna tentang Penyampaian Raperda yang berasal dari usul prakarsa Kepala Daerah.
b. Penjelasan dalam Rapat Paripurna oleh Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus terhadap Raperda dan/atau Perubahan Perda yang berasal dari usul prakarsa DPRD.
3. Pembicaran tingkat kedua, meliputi :
a. Pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah.
1) Pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah.
2) Jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi
b. Dalam hal Raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD :
1) Pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD.
2) Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
3) Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat Komisi/Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus yang dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.


4) Pembicaraan tingkat keempat, meliputi :
a) Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan :
(1) Laporan hasil pembicaraan tahap ketiga.
(2) Pendapat akhir fraksi.
(3) Pengambilan keputusan.
b) Penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan.
c) Rapat fraksi diadakan sebelum dilakukan pembicaraan tentang hasil pembicaraan tahap ketiga, pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan.
d) Apabila dipandang perlu Panitia Musyawarah dapat menentukan bahwa pembicaraan tahap ketiga dilakukan dalam Rapat Gabungan atau dalam Rapat Panitia Khusus.
Mengenai teknis tata cara dan waktu dari sebuah Raperda yang telah disetujui bersama lembaga legislatif dan lembaga eksekutif diatur dalam Pasal 144 UU No. 32 Tahun 2004. Dijelaskan bahwa Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Kemudian Raperda tersebut ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan jangka waktu paling lambat 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama. Jika dalam jangka waktu 30 hari Raperda yang telah disetujui bersama tadi tidak ditandatangani Kepala Daerah, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
Seperti halnya sebuah peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara, setelah diberikan penomoran, maka menurut Pasal 147 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 memerintahakan agar setiap Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah. Pengundangan dilakukan oleh Sekretaris Daerah atau dapat didelegasikan kepada Kepala Bagian Hukum untuk kemudian Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan tersebut setelah dilakukan autentifikasi oleh Kepala Bagian Hukum.
E. Perubahan dan Pencabutan Produk Hukum.
Perubahan produk hukum pada prinsipnya dilakukan atas produk hukum sejajar yakni dengan cara :
1. Menyisipkan atau menambah materi kedalam rumusan produk hukum.
2. Menghapus dan mengganti sebagian materi produk hukum itu.
Perubahan dapat dilakukan terhadap seluruh isi produk hukum atau sebagian isi produk hukum. Sebagian isi yang dapat diubah adalah buku, bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, huruf, kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
Jika produk hukum yang diubah mempunyai nama singkatan, produk hukum baru yang mengubah dapat pula menggunakan nama singkatan yang sama. Pada pokoknya batang tubuh materi produk hukum yang mengubah atau produk hukum perubahan itu cukup terdiri atas 2 ketentuan Pasal. Pasal I memuat judul produk hukum yang diubah dengan menyebutkan Lembaran Negara/Tambahan Lembaran Negara atau Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang diletakkan diantara tanda kurung serta memuat norma yang dirubah. Jika materinya lebih dari satu, maka materi perubahan itu dirinci dengan menggunakan angka arab 1, 2, 3 dan seterusnya.
Jika perubahan itu dilakukan lebih dari satu kali, maka selain mengikuti ketentuan tersebut diatas, Pasal I juga memuat tahun dan nomor produk hukum perubahan yang sudah ada Lembaran Negara/Tambahan Lembaran Negara, Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang diletakkan diantara tanda kurung dan dirinci dengan huruf abjad kecil a, b, c dan seterusnya. Jika dalam produk hukum tersebut diambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat baru, tambahan atau sisipan itu dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
Apabila suatu pasal terdiri atas beberapa ayat sisipan ayat baru, penulisan ayat-ayat baru itu diawali dengan angka arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c dan seterusnya yang diletakkan diantara tanda kurung. Jika dalam produk hukum dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tetap harus dicantumkan dengna diberi keterangan dihapus.
Pada pokoknya setiap perubahan produk hukum menimbulkan akibat-akibat yang serius terhadap bentuk dan isi produk hukum yang bersangkutan. Akibat yang timbul itu ialah :
1. Sistematika produk hukum menjadi berubah.
2. Materi produk hukum itu berubah.
3. Esensi norma yang terkandung di dalam produk hukum itu berubah.
Apabila perubahan itu mencakup lebih dari setengah atau 50 % materi produk hukum yang bersangkutan, maka sangat dianjurkan apabila produk hukum yang diubah dicabut saja, dan kemudian disusun kembali dalam produk hukum yang baru sama sekali yang mengatur hal yang sama. Demikian pula jika produk hukum itu telah berulang kali berubah sehingga menyulitkan masyarakat dan para pejabat pelaksana produk hukum memahami dan melaksanakannya, maka sebaiknya produk hukum yang bersangkutan dicabut saja untuk kemudian diatur dalam produk hukum baru tersendiri yang mengatur materi yang sama. Dalam produk hukum baru dapat diatur dan diadakan penyesuaian sehingga susunannya menjadi lebih baik dan sistematis, yaitu mengenai :
1. Urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka atau butir.
2. Penyebutan-penyebutan istilah.
3. ejaan-ejaan, misalnya karena dalam istilah produk hukum yang lama masih dipakai ejaan-ejaan lama.
Apabila ada suatu produk hukum yang tidak diperlukan lagi dan harus diganti dengan produk hukum yang baru, maka produk hukum yang baru itu harus secara tegas mencabut produk hukum yang lama. Pencabutan produk hukum hanya dapat dilakukan dengan peraturan yang setingkat. Misalnya Perda, hanya dapat dicabut dengan Perda. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut yang derajatnya lebih tinggi, akan tetapi peraturan yang lebih tinggi dapat mencabut peraturan yang lebih rendah. Hal demikian dapat dilakukan apabila peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang hendak dicabut tadi, agar tidak terjadi tumpang tindih materi pengaturan. Pernyataan pencabutan itu dapat dirumuskan dalam salah satu Bab Ketentuan Penutup dengan menggunakan rumusan “dicabut dan dinyatakan tidak berlaku“.
Dalam hal produk hukum sudah diundangkan tetapi belum mulai dilaksanakan atau diberlakukan, pencabutannya dapat dilakukan dengan produk hukum tersendiri yang setingkat atau yang lebih tinggi dengan pernyataan “ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku”. Jika pencabutan itu dilakukan dengan peraturan perundang-undangan tersendiri, maka peraturan perundang-undangan itu hanya terdiri dari 2 Pasal. Pasal I memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya produk hukum tertentu yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku itu, dan Pasal II memuat ketentuan saat berlakunya produk hukum yang dicabut.
Pencabutan peraturan perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam produk hukum lain yang terkait, tidak mengubah produk hukum lain tersebut, kecuali apabila ditentukan lain secara tegas didalamnya. Produk hukum yang telah dicabut tersebut, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
E. Anatomi Produk Hukum.
Anatomi produk hukum pada hakekatnya mengikuti bentuk dan jenis produk hukum yang pada pembahasan di muka dikelompokkan dalam 2 jenis, yakni yang bersifat mengatur dan yang bersifat penetapan. Sebagai gambaran berikut ini penulis berikan contoh kerangka dan format yang lazim dipergunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang sering dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AYAH… sudahkah mencoba ngobrol dengan anak-anak? Alhamdulillah jika sudah dan teruskan hal itu sesering mungkin sambil kita belajar terus...