Senin, 29 November 2010

PINDANG TULANG MERANJAT

Bila Anda penggemar masakan dengan menu tulang sapi, tak ada salahnya mencicipi masakan khas Sumatera Selatan yang satu ini, yaitu pindang tulang meranjat. Pindang yang memadukan tulang sapi dengan bumbu rempah - rempah yang terasa hangat dan pedas serta menggoda selera.

Salah satu rumah makan yang menyajikan menu pindang tulang meranjat ini, adalah rumah makan yang berada dikawasan Jalan Ahmad Yani, Tangga Takat seberang Ulu II, Palembang. Proses pembuatan pindang tulang meranjat ini sendiri, diawali dengan mencuci potongan tulang sapi hingga benar - benar bersih.

Lalu potongan tulang ini direbus dengan campuran bumbu rempah - rempah, seperti bawang putih, bawang merah, serai, cabe hijau, kunyit, tomat, lada dan laos. Untuk menambah rasa pedas, pindang juga dapat ditabur dengan cabe giling (cabe halus) dan kemudian campuran ini diaduk hingga benar - benar rata.

Pindang tulang meranjat yang siap untuk disajikan ini semakin nikmat, bila disantap dengan menambah lalapan dan kecap manis. Rasa pedas dan hangat pada kuah pindang ini, membuat sejumlah pelanggannya mengaku merasa ketagihan untuk mencicipinya. Menurut pemilik rumah makan Neti, resep makanan ini ia dapatkan dari kampungnya di Desa Meranjat, yaitu salah satu kampung kecil diwilayah Sumatera Selatan.

Bahan :
* 1 kg iga sapi, kalo bisa cari yang banyak tulang mudanya
* 8 siung bawang merah, iris halus
* 4 siung bawang putih, iris halus
* 2 lembar daun salam
* 1 batang sereh, digeprak
* 3 cm kunyit, iris halus
* 3 cm jahe, iris halus
* 3 cm laos, iris halus
* 2 sdm air asam jawa dari ± 3 mata asam jawa
* 3 buah cabe merah, belah 2 boleh dibuang bijinya
* 3 buah cabe ijo, belah 2 boleh dibuang bijinya
* 1 sdm kecap manis
* 1 sdm kecap asin
* garam secukupnya
* 1 ikat daun kemangi, petiki
* 1 batang daun bawang, potong-potong
* 1 buah tomat, potong 8

caranya:
* didihkan air didalam panci secukupnya sampai kira-kira iga sapi terendam semua
* setelah mendidih, masukkan iga sapi, bawang merah, bawang putih, salam, sere, laos, kunyit, jahe, masak sampai iga empuk
* masukkan air asem jawa, kecap manis, kecap asin, garam
* masukkan cabe merah dan cabe ijo, didihkan lagi
* sesaat sebelum dihidangkan, masukkan tomat, kemangi dan daun bawang. hidangkan panas-panas

legal drafting oleh Muhadi

BAB I
PENDAHULUAN

Produk hukum, khususnya produk hukum daerah merupakan sebuah media bagi Pemerintah Daerah untuk menuangkan usulan-usulan, kebijakan-kebijakan dan/atau aspirasi-aspirasi masyarakat untuk tujuan pembangunan daerah. Diharapkan dari produk hukum daerah tersebut mampu ditetapkan aturan-aturan yang dapat menunjang pembangunan daerah ke arah yang lebih maju. Namun pada kenyataannya banyak produk hukum daerah yang belum mampu memfasilitasi proses pembangunan demi kemajuan daerah.
Pada tataran implementatifnya, sebuah produk hukum daerah harus tepat sesuai sasaran yang diinginkan dari diberlakukannya produk hukum daerah tersebut dan juga bermanfaat bagi masyarakat. Ini merupakan tugas berat dari perancang peraturanperundang-undangan untuk dapat menghasilkan produk hukum daerah yang sesuai dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang salah satunya adalah asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.
Kenyataannya seringkali para perancang pada instansi teknis maupun bagian hukum, tidak/belum dapat menerjemakan kebijakan-kebijakan pemerintah yang telah disusun ke dalam produk hukum daerah yang diterapkan secara efektif. Para perancang (drafter) gagal karena :
1. Mitos bahwa perancang tidak menangani urusan kebijakan, sebab yang membuat produk hukum daerah adalah para pejabat Pemerintah Daerah atau bersama DPRD ketika dalam format Perda dan bukan tanggung jawab perancang.
2. Penyusunan rancangan produk hukum daerah tidak mendasarkan pada pemikiran logis berdasarkan fakta dimasyarakat.
3. Terbatasnya perancang yang memiliki pemahaman atas teori, metodologi dan teknik perancangan peraturan perundang-undangan yang dapat secara jelas menerjemakan kebijakan pemerintah menjadi produk hukum daerah yang dapat dilaksanakan secara efektif.
Akibat dari hal tersebut, maka tidak mengherankan bila perancang produk hukum daerah pada instansi teknis maupun bagian hukum kembali pada kebiasaan yang bermasalah sekedar merancang produk hukum daerah dengan cara menyadur peraturan perundang-undangan pusat atau daerah yang lain atau sekedar berdasarkan kompromi keinginan dari kelompok-kelompok dominan di pemerintahan atau masyarakat. Disamping itu kendala lain masih seputar kemampuan legal drafter dalam melakukan legal drafting yang masih lemah, terutama dalam melakukan interprepretasi otentik, memahami latar belakang yuridis dan sosiologis serta kelemahan sistematika.
Pada bagian lain dalam penetapan kebijakan publik, unsur-unsur masyarakat belum secara maksimal dilibatkan. Disinilah peran Naskah Akademik yang merupakan penengah yang menjembatani antara kepentingan eksekutif dan legislatif yang sarat kepentingan politik, sehingga dapat meminimalisir kepentingan yang tidak memihak kepada masyarakat. Dua hal tersebut yang penulis coba urai dalam Bab-Bab berikutnnya.

*00*












BAB II
TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Ketrampilan menyusun peraturan perundang-undangan, bukanlah dominasinya orang-orang yang bekerja disektor hukum atau sarjana hukum saja. Belajar teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tidak akan lepas dari belajar hukum dan ketika belajar hukum maka tidak akan lepas dari sistem hukum, kaidah hukum dan asas-asas hukum.
Membaca sistem hukum berarti harus paham pula bagaimana sistem hukum yang dianut dinegara kita, namun untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka fokus bahasan dititikberatkan pada bagaimana menyusun produk hukum daerah yang baik. Pembentukan produk hukum daerah yang baik akan terwujud, ketika menguasai tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan (legislative drafting) dimaknai sebagai :
“ Sebuah ilmu pengetahuan yang merupakan aturan-aturan tertentu yang dapat diletakkan sebagai aplikasi umum terhadap semua tindakan-tindakan /langkah-langkah yang muncul dalam “perencanaan undang-undang”(drafting) dan juga sebagai satu perangkat (set) aturan tertentu yang selalui diobservasi oleh semua pembuat undang-undang untuk tujuan (dari) pemakai metode yang terjamin aman dalam draf-draf mereka”

A. Perihal Kaidah Hukum.
Didalam kehidupan masyarakat, manusia terikat oleh peraturan pergaulan hidup yang berlaku dalam masyarakat itu, yang disebut norma-norma atau kaidah-kaidah. Norma atau kaidah pada hakekatnya adalah merupakan perumusan atau pandangan mengenai perilaku atau sikap tindak. Selanjutnya norma atau kaidah itu menjadi pedoman atau patokan bagi manusia dalam bertingkah laku. Norma atau kaidah yang menjadi pedoman tingkah laku di bagi menjadi 2 golongan, yaitu :
1. Kaidah yang mengatur aspek hidup pribadi, meliputi :
a. Kaidah agama/kepercayaan.
b. Kaidah kesusilaan
2. Kaidah-kaidah yang mengatur aspek hidup antar pribadi, meliputi :
a. Kaidah kesopanan.
b. Kaidah hukum.
Keempat kaidah tersebut masing-masing dapat dibedakan satu dengan yang lain, namun tidak dapat dipisahkan dan mempunyai hubungan yang erat dengan yang lain. Kaidah keagamaan/kepercayaan ditujukan untuk kesucian hidup antar pribadi, kaidah kesusilaan tertuju untuk kebaikan akhlak dan kebersihan hati nurani manusia.
Kaidah kesopanan bertujuan untuk adanya kenyamanan didalam hidup bersama, dimana manusia mengetahui dan menyadari kedudukannya masing-masing dan saling menghormati satu dengan yang lain, sehingga didalam kehidupan masyarakat terdapat suasana yang menyenangkan.
Untuk menjamin ketertiban didalam masyarakat dan untuk melindungi kepentingan-kepentingan yang terdapat didalam masyarakat, maka kaidah hukum dengan sanksinya yang tegas ditujukan untuk terselenggaranya kepentingan tersebut agar kehidupan bermasyarakat dan bernegara teratur, tertib, aman dan tentram.
Menurut Soerjono Soekanto, maka kaidah hukum tertuju pada perdamaian hidup pribadi yang meliputi 2 hal yaitu :
1. Ketertiban extern antar pribadi.
2. Ketertiban intern pribadi.
Selanjutnya kaidah hukum mempunyai tugas untuk memberikan kepastian dan kesebandingan didalam hukum. Jika tugas yang dwi tunggal itu dihubungkan dengan tujuan hukum, maka pemberian kepastian hukum bertujuan kepada ketertiban, sedangkan pemberian kesebandingan bertujuan kepada ketenangan pribadi. Dengan demikian jelas bahwa hukum ditujukan baik kepada kepentingan umum maupun untuk kepentingan pribadi.
B. Tata Urutan Perundang-Undangan dan Jenis Produk Hukum.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Sebagai norma dasar maka yang penting dalam setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dijiwai Pancasila yang termanifestasikan dari pasal-pasal didalamnya. Kelima sila yang terkandung dalam Pancasila menjadi norma dasar (grundnorm).
Kekacauan tata urutan atau hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia telah terjadi sejak periode orde lama sampai menjelang era reformasi. Mengenai hal ini patut disimak pendapatnya Sirajuddin yang mengatakan bahwa :
“Penempatan hirarkhi peraturan dalam peraturan perundang-undangan sebagaimana dianut di Indonesia sejak Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 hingga UU No. 10 Tahun 2004 terbilang cukup unik, karena tidak ada suatu sistem hukum positif di dunia ini yang secara khusus mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan. Kalaupun ada pengaturannya sebatas pada asas yang menyebutkan misalnya, Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya” atau dalam UUD ada ungkapan “the supreme law of the land”. Mengapa tidak diatur ? Antara lain karena tata urutan mempunyai konsekwensi. Bahkan setiap peraturan perundang-undangan harus memiliki dasar hukum pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Peraturan perundang-undangan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila ternyata peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tingggi, maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dapat dituntut untuk dibatalkan atau batal demi hukum. Konsekwensi ini telah dianggap ada walaupun tidak diatur”.

Faktor lain yang menyebabkan tidak ada kelaziman mengatur tata urutan peraturan perundang-undangan, karena sistem hukum positif tidak hanya berupa peraturan perundang-undangan, melainkan juga hukum tidak tertulis (yurisprudensi, hukum adat dan hukum kebiasaan). Kaidah-kaidah hukum tidak tertulis ini dapat juga digunakan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau sebaliknya , walaupun tidak bertalian dengan tata urutan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan UU. No. 10 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) ditentukan hirarkhi peraturan perundang-undangan meliputi :
1. UUD 1945.
2. UU/Perpu.
3. PP.
4. Perpres.
5. Perda.
Sedangkan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Permendagri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah ditentukan produk hukum daerah yang bersifat pengaturan dan penetapan. Hirarkhi yang bersifat pengaturan yakni :
1. Perda atau sebutan lainnya.
2. Peraturan Kepala Daerah.
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah.
Dalam pembagian selanjutnya yang bersifat penetapan meliputi :
1. Keputusan Kepala Daerah.
2. Instruksi Kepala Daerah.

C. Bentuk Produk Hukum Menurut Jenis dan Sifatnya.
Seperti disinggung pada bahasan diatas, jika dikelompokkan sifat produk hukum terdiri atas yang bersifat pengaturan (regeling) dan yang bersifat penetapan (beschikking). Pembagian ini penting, mengingat dalam sistem hukum modern, hukum tertulis semakin memegang peranan penting dalam penyelengggaraan pemerintahan, karena salah satu ciri hukum modern adalah sifatnya yang tertulis.
Dilihat dari bentuk jenis dan sifatnya produk hukum dapat dibedakan menjadi 2, yakni peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur (regeling) dan yang bersifat keputusan/penetapan (beschikking).
Dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 10 Tahun 2004, peraturan perundang-undangan didefinisikan peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Sementara keputusan/penetapan/ketetapan adalah :
“ Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat kongkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi orang atau badan hukum perdata”.

Dimuka telah disebutkan bahwa kaidah hukum termasuk dalam golongan tata kaidah yang mengatur aspek hidup antar pribadi, sehingga kaidah hukum atau norma suatu peraturan perundang-undangan dapat berisi suatu perintah (suruhan), suatu larangan atau suatu perizinan (kebolehan).
D. Proses Pembentukan Perda.
Pembentukan Perda adalah proses pembuatan Perda yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, pembahasan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan. Dalam mempersiapkan pembahasan dan pengesahan Raperda menjadi Perda, harus berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
Mengenai proses pembentukan Perda dapat berasal dari DPRD atau Kepala Daerah, Hal ini diatur dalam Pasal 26 UU No. 10 Tahun 2004 dan Pasal 140 UU No. 32 Tahun 2004.
Proses pembentukan Perda menurut Permendagri No. 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah dilakukan berdasarkan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Prolegda merupakan instrumen perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Pasal 5 Permendagri 16 Tahun 2006 menerangkan bahwa produk hukum daerah yang bersifat pengaturan (Perda didalamnya) dapat disusun oleh Pimpinan SKPD yang dapat mendelegasikan penyusunan Perda kepada Biro atau Bagian Hukum, dimana dalam proses penyusunan Perda tersebut dibentuk Tim antar SKPD yang diketuai Pimpinan SKPD pemrakarsa atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Bagian Hukum atau Kepala Bagian Hukum berkedudukan sebagai Sekretaris.
Langkah selanjutnya seperti diatur dalam Pasal 6 Permendagri 16 Tahun 2006, bahwa Raperda tadi dilakukan pembahasan dengan Bagian Hukum dan SKPD terkait dengan materi pembahasan menitikberatkan pada permasalahan yang bersifat prinsip mengenai obyek yang diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sesudah melakukan pembahasan, Raperda tersebut harus mendapatkan paraf koordinasi Kepala Bagian Hukum dan Pimpinan SKPD terkait, untuk kemudian diajukan kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah, dimana Sekretaris Daerah dapat melakukan perubahan dan/atau penyempurnaan terhadap Raperda.


Raperda yang diprakarsai oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan serta dilakukan pembentukan Tim Asistensi dalam rangka pembahasan yang diketuai Sekretaris Daerah atau Pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Demikian juga sebaliknya bahwa dalam rangka pembahasan Raperda atau sebutan lainnya atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau Pimpinan SKPD sesuai tugas dan fungsinya. Adapun dalam pembahasan Raperda di DPRD, baik atas inisiatif Kepala Daerah atau DPRD dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat pada Bagian Hukum.
Dalam hal pembahasan Raperda antara DPRD dan Kepala Daerah, biasanya permbahasan tersebut dilakukan melaui empat tingkatan pembicaraan, yaitu :
1. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi :
a. Penjelasan Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna tentang Penyampaian Raperda yang berasal dari usul prakarsa Kepala Daerah.
b. Penjelasan dalam Rapat Paripurna oleh Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus terhadap Raperda dan/atau Perubahan Perda yang berasal dari usul prakarsa DPRD.
3. Pembicaran tingkat kedua, meliputi :
a. Pemandangan umum fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah.
1) Pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah.
2) Jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi
b. Dalam hal Raperda yang berasal dari usul prakarsa DPRD :
1) Pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD.
2) Jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah.
3) Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat Komisi/Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus yang dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.


4) Pembicaraan tingkat keempat, meliputi :
a) Pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan :
(1) Laporan hasil pembicaraan tahap ketiga.
(2) Pendapat akhir fraksi.
(3) Pengambilan keputusan.
b) Penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan.
c) Rapat fraksi diadakan sebelum dilakukan pembicaraan tentang hasil pembicaraan tahap ketiga, pendapat akhir fraksi dan pengambilan keputusan.
d) Apabila dipandang perlu Panitia Musyawarah dapat menentukan bahwa pembicaraan tahap ketiga dilakukan dalam Rapat Gabungan atau dalam Rapat Panitia Khusus.
Mengenai teknis tata cara dan waktu dari sebuah Raperda yang telah disetujui bersama lembaga legislatif dan lembaga eksekutif diatur dalam Pasal 144 UU No. 32 Tahun 2004. Dijelaskan bahwa Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Perda. Penyampaian Raperda tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
Kemudian Raperda tersebut ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan jangka waktu paling lambat 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui bersama. Jika dalam jangka waktu 30 hari Raperda yang telah disetujui bersama tadi tidak ditandatangani Kepala Daerah, maka Raperda tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan.
Seperti halnya sebuah peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara, setelah diberikan penomoran, maka menurut Pasal 147 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 memerintahakan agar setiap Perda diundangkan dalam Lembaran Daerah. Pengundangan dilakukan oleh Sekretaris Daerah atau dapat didelegasikan kepada Kepala Bagian Hukum untuk kemudian Pemerintah Daerah wajib menyebarluaskan Perda yang telah diundangkan tersebut setelah dilakukan autentifikasi oleh Kepala Bagian Hukum.
E. Perubahan dan Pencabutan Produk Hukum.
Perubahan produk hukum pada prinsipnya dilakukan atas produk hukum sejajar yakni dengan cara :
1. Menyisipkan atau menambah materi kedalam rumusan produk hukum.
2. Menghapus dan mengganti sebagian materi produk hukum itu.
Perubahan dapat dilakukan terhadap seluruh isi produk hukum atau sebagian isi produk hukum. Sebagian isi yang dapat diubah adalah buku, bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, huruf, kata, istilah, kalimat, angka, dan/atau tanda baca.
Jika produk hukum yang diubah mempunyai nama singkatan, produk hukum baru yang mengubah dapat pula menggunakan nama singkatan yang sama. Pada pokoknya batang tubuh materi produk hukum yang mengubah atau produk hukum perubahan itu cukup terdiri atas 2 ketentuan Pasal. Pasal I memuat judul produk hukum yang diubah dengan menyebutkan Lembaran Negara/Tambahan Lembaran Negara atau Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang diletakkan diantara tanda kurung serta memuat norma yang dirubah. Jika materinya lebih dari satu, maka materi perubahan itu dirinci dengan menggunakan angka arab 1, 2, 3 dan seterusnya.
Jika perubahan itu dilakukan lebih dari satu kali, maka selain mengikuti ketentuan tersebut diatas, Pasal I juga memuat tahun dan nomor produk hukum perubahan yang sudah ada Lembaran Negara/Tambahan Lembaran Negara, Lembaran Daerah atau Berita Daerah yang diletakkan diantara tanda kurung dan dirinci dengan huruf abjad kecil a, b, c dan seterusnya. Jika dalam produk hukum tersebut diambahkan atau disisipkan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat baru, tambahan atau sisipan itu dicantumkan pada tempat yang sesuai dengan materi yang bersangkutan.
Apabila suatu pasal terdiri atas beberapa ayat sisipan ayat baru, penulisan ayat-ayat baru itu diawali dengan angka arab sesuai dengan angka ayat yang disisipkan dan ditambah dengan huruf kecil a, b, c dan seterusnya yang diletakkan diantara tanda kurung. Jika dalam produk hukum dilakukan penghapusan atas suatu bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat, maka urutan bab, bagian, paragraf, pasal, atau ayat tetap harus dicantumkan dengna diberi keterangan dihapus.
Pada pokoknya setiap perubahan produk hukum menimbulkan akibat-akibat yang serius terhadap bentuk dan isi produk hukum yang bersangkutan. Akibat yang timbul itu ialah :
1. Sistematika produk hukum menjadi berubah.
2. Materi produk hukum itu berubah.
3. Esensi norma yang terkandung di dalam produk hukum itu berubah.
Apabila perubahan itu mencakup lebih dari setengah atau 50 % materi produk hukum yang bersangkutan, maka sangat dianjurkan apabila produk hukum yang diubah dicabut saja, dan kemudian disusun kembali dalam produk hukum yang baru sama sekali yang mengatur hal yang sama. Demikian pula jika produk hukum itu telah berulang kali berubah sehingga menyulitkan masyarakat dan para pejabat pelaksana produk hukum memahami dan melaksanakannya, maka sebaiknya produk hukum yang bersangkutan dicabut saja untuk kemudian diatur dalam produk hukum baru tersendiri yang mengatur materi yang sama. Dalam produk hukum baru dapat diatur dan diadakan penyesuaian sehingga susunannya menjadi lebih baik dan sistematis, yaitu mengenai :
1. Urutan bab, bagian, paragraf, pasal, ayat, angka atau butir.
2. Penyebutan-penyebutan istilah.
3. ejaan-ejaan, misalnya karena dalam istilah produk hukum yang lama masih dipakai ejaan-ejaan lama.
Apabila ada suatu produk hukum yang tidak diperlukan lagi dan harus diganti dengan produk hukum yang baru, maka produk hukum yang baru itu harus secara tegas mencabut produk hukum yang lama. Pencabutan produk hukum hanya dapat dilakukan dengan peraturan yang setingkat. Misalnya Perda, hanya dapat dicabut dengan Perda. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut yang derajatnya lebih tinggi, akan tetapi peraturan yang lebih tinggi dapat mencabut peraturan yang lebih rendah. Hal demikian dapat dilakukan apabila peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang hendak dicabut tadi, agar tidak terjadi tumpang tindih materi pengaturan. Pernyataan pencabutan itu dapat dirumuskan dalam salah satu Bab Ketentuan Penutup dengan menggunakan rumusan “dicabut dan dinyatakan tidak berlaku“.
Dalam hal produk hukum sudah diundangkan tetapi belum mulai dilaksanakan atau diberlakukan, pencabutannya dapat dilakukan dengan produk hukum tersendiri yang setingkat atau yang lebih tinggi dengan pernyataan “ditarik kembali dan dinyatakan tidak berlaku”. Jika pencabutan itu dilakukan dengan peraturan perundang-undangan tersendiri, maka peraturan perundang-undangan itu hanya terdiri dari 2 Pasal. Pasal I memuat ketentuan yang menyatakan tidak berlakunya produk hukum tertentu yang sudah diundangkan tetapi belum mulai berlaku itu, dan Pasal II memuat ketentuan saat berlakunya produk hukum yang dicabut.
Pencabutan peraturan perundang-undangan yang menimbulkan perubahan dalam produk hukum lain yang terkait, tidak mengubah produk hukum lain tersebut, kecuali apabila ditentukan lain secara tegas didalamnya. Produk hukum yang telah dicabut tersebut, dengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
E. Anatomi Produk Hukum.
Anatomi produk hukum pada hakekatnya mengikuti bentuk dan jenis produk hukum yang pada pembahasan di muka dikelompokkan dalam 2 jenis, yakni yang bersifat mengatur dan yang bersifat penetapan. Sebagai gambaran berikut ini penulis berikan contoh kerangka dan format yang lazim dipergunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang sering dipergunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
A. JUDUL
B. PEMBUKAAN
1. Frase Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan
3. Konsiderans
4. Dasar Hukum
5. Diktum
C. BATANG TUBUH
1. Ketentuan Umum
2. Materi Pokok yang Diatur
3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan)
4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan)
5. Ketentuan Penutup
D. PENUTUP
E. PENJELASAN (jika diperlukan)
F. LAMPIRAN (jika diperlukan)

Rabu, 24 November 2010

Bukan Berat Beban

Bukan berat Beban yang membuat Kita Stress, Tetapi lamanya Kita memikul beban tersebut. (By Stephen Covey)

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen
Stress, Stephen Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira-kira segelas air ini?"

Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr. "Ini bukanlah masalah berat absolutnya, Tapi tergantung berapa lama anda memegangnya." Kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak Ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1Jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya Memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin Anda
harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama Saya memegangnya, maka bebannya akan
semakin berat."

"Jika Kita membawa beban Kita terus menerus, lambat laun Kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." Lanjut Covey. "Apa yang harus Kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi". Kita harus
meninggalkan beban Kita secara periodik, agar Kita apat lebih segar & mampu membawanya lagi.

Jadi sebelum pulang ke rumah dari pekerjaan sore ini, tinggalkan beban pekerjaan. Jangan bawa pulang. Beban itu dapat diambil lagi besok.
Apapun beban yang ada di pundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi.

Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya...


=================================================
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi, Idea Press, Yogyakarta. pp. 78-79. ISBN 978-6028-686-402.

Minggu, 21 November 2010

PELEMBAGAAN METODE PARTISIPATIF DALAM PENYUSUNAN PERATURAN DAERAH 0leh Muhadi

Peraturan daerah sebagai bentuk formil dan tertulis dari hukum semakin memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, baik sebagai sarana regulasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maupun sebagai sarana untuk mengadakan perubahan sosial. Penggunaan peraturan daerah sebagai sarana perubahan tidak selalu membawa dampak yang positif bagi masyarakat yang bersangkutan. Hal ini disebabkan peraturan daerah bukanlah institusi yang berada dalam “ruang hampa” sehingga selalu netral. Keberadaan peraturan daerah tidak steril dari sub sistem kemasyarakatan lainnya, sehingga dalam menyusun peraturan daerah perlu mempertimbangan aspek dan dampak lainnya.
Pelembagaan metode partisipasipatif dan analisa dampak regulasi (regulatory impact assesment) atau yang lebih dikenal dengan penerapan metode RIA, merupakan sebagian jawaban atas tersumbatnya saluran aspirasi yang sering terjadi pada kegiatan penyusunan peraturan daerah. Tidak dapat dipungkiri keterlibatan multistakeholder dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pemerintah daerah akan dapat mereduksi disharmoni antara kehendak pemerintah yang pada satu sisi berposisi sebagai regulator dihadapkan pada masyarakat sebagai pihak yang terkena dampak regulasi.
Reformasi dan otonomi daerah tidak dapat dielakkan, memunculkan fenomena baru yang kurang positif di bidang legislasi daerah. Pertama, banyak peraturan daerah yang baru saja disahkan oleh kepala daerah dan DPRD bahkan belum berlaku secara efektif sudah mau diubah bahkan diganti dengan peraturan daerah yang baru, karena tidak implementatif dan menimbulkan masalah sosial baru dalam masyarakat, misalnya peraturan daerah yang mengatur pungutan daerah baik dalam bentuk pajak atau retribusi. Kedua, banyak peraturan daerah yang tidak relevan dengan kebutuhan atau permasalahan yang ada dalam masyarakat misalnya peraturan daerah tentang pembentukan kelembagaaan daerah yang kurang didukung oleh personil, peralatan dan pembiayaannya (3P). Ketiga, banyak peraturan daerah yang dibatalkan oleh pemerintah pusat karena bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan mengancam iklim investasi di daerah atau menciptakan iklim yang tidak kondusif bagi kegiatan perekonomian. Sumber Depdagri, dalam kurun waktu tahun 2003-2006 saja setidaknya sudah ada 610 peraturan daerah yang dibatalkan.
Dampak selanjutnya dari banyaknya peraturan daerah yang jauh dari rasa keadilan masyarakat adalah, larisnya permintaan judiciel review oleh berbagai pihak terhadap pelbagai peraturan daerah.
Fenomena negatif dalam bidang legislasi daerah ini dapat diminimalisir jika lembaga pembentuk peraturan daerah menggunakan metode partisipatif dan RIA, yakni dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukannya.
Sebetulnya kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan peraturan daerah sudah diakomodasi dalam hukum positif. Penegasan ini diatur dalam Pasal 139 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 dan Pasal 53 UU No. 10 Tahun 2004 serta dianutnya asas keterbukaan dalam kedua UU tersebut. Pasal 53 UU No.10 Tahun 2004 menyatakan bahwa, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan undang- undang atau rancangan peraturan daerah, namun ironisnya hak tersebut belum dapat diterapkan secara optimal.
Apa dan Mengapa Perlu Partipasi

Partisipasi dapat diartikan sebagai ikut serta, berperan serta dalam suatu kegiatan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai dengan evaluasi. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan peraturan daerah dapat dikategorikan partisipasi politik. Senada dengan hal tersebut oleh (Huntington dan Nelson, : 1994) partisipasi politik diartikan sebagai kegiatan warga negara sipil (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
Dua sifat partisipasi atau peran serta masyarakat menurut Cormick (1979), yakni Pertama, konsultatif, dimana peran serta masyarakat dengan pola hubungan konsultatif, maka antara pihak pejabat pengambil keputusan dengan kelompok masyarakat yang berkepentingan, anggota-anggota masyarakatnya mempunyai hak untuk didengar pendapatnya dan untuk diberitahu, dimana keputusan terakhir tetap berada di tangan pejabat pembuat keputusan tersebut. Kedua, kemitraan dimana pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membahas keputusan.
Partisipasi tidak cukup hanya dilakukan segelintir orang yang duduk dalam lembaga perwakilan saja, mengingat institusi dan orang-orang yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat sering menggunakan politik atas nama kepentingan rakyat, padahal dibalik itu hakekatnya memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompok mereka sendiri. Sisi positif yang dapat diambil dengan partisipasi rakyat secara langsung dalam penyusunan peraturan daerah, misalnya akan terhindar dari peluang terjadinya manipulasi keterlibatan masyarakat dan memperjelas apa yang dikehendaki masyarakat, memberi nilai tambah pada legitimasi rumusan perencanaan yang akan dituangkan dalam peraturan daerah serta meningkatkan kesadaran dan ketrampilan politik masyarakat.

Urgensi Partisipasi Masyarakat

Penyusunan suatu peraturan daerah berlangsung dalam struktur sosial tertentu dan dengan demikian merupakan bagian dari proses sosial yang lebih besar. Berangkat dari perspektif yang demikian, maka penyusunan peraturan daerah tidak akan secara otomatis berjalan lancar, ketika struktur sosial dimana pembuatan itu berlangsung tidak demokratis. Dengan kata lain sangat tergantung dari kondisi masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan trasparansi dan partisipasi yang lebih besar dalam penyusunan peraturan daerah untuk kemudian dilakukan elaborasi lebih lanjut kedalam prosedur atau mekanisme penyusunannya.
Partisipasi tidak tepat jika hanya dinilai pada tataran seberapa jauh masyarakat terlibat dalam pembentukan peraturan daerah, tetapi hakekatnya seberapa jauh masyarakat terutama masyarakat marginal dan rentan dapat menentukan hasil akhir atau dampak positif dari keberadaan peraturan daerah tersebut.
Oleh karena itu agar partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah dapat berjalan dengan baik dan lancar, maka pelembagaan metode partisipatif yang dibingkai dalam peraturan perundang-undangan yang mengharuskan masyarakat terlibat dalam pembentukan peraturan daerah menjadi kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda lagi.

Mario Teguh

Love, aku tak akan menerima
kekayaan apa pun atau kedudukan
...sebagai kaisar,
tapi menjadi lelaki
yang hidup tanpa mu.

Tak ada orang yang lebih kaya
daripada aku, karena aku memiliki mu.

Tak ada gunanya menjadi apa pun,
selain menjadi suami mu.

Ooh … matanya berkedip-kedip berkunang-kunang

Saya langsung dipeluk, dicium …

Saya diam saja, seperti tak terjadi apa pun …

Kamis, 18 November 2010

HUKUM DAN EKONOMI: POTRET NEGARA HUKUM KITA *Oleh : Muhadi

HUKUM DAN EKONOMI: POTRET NEGARA HUKUM KITA *Oleh : Muhadi: "Pendahuluan Berbicara mengenai hukum dalam suatu negara, tidak lepas dari pembicaraan mengenai Konstitusi Negara. Indonesia sebagai Negara ..."

POTRET NEGARA HUKUM KITA *Oleh : Muhadi

Pendahuluan

Berbicara mengenai hukum dalam suatu negara, tidak lepas dari pembicaraan mengenai Konstitusi Negara. Indonesia sebagai Negara hukum yang secara tegas telah diamanatkan dalam UUD Tahun 1945, memberi semangat kepada penyelenggara Negara dan warga negaranya untuk senantiasa menjadikan hukum sebagai panglima dalam setiap aktifitas penyelenggaraan Negara maupun aktivitas warga negaranya dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Namun demikian apa yang diharapkan dari semangat para penyelenggara Negara dan semangat warga negaranya, tidak semua dapat terlaksana sesuai harapan. Setidaknya ada dua faktor penyebab dari serangkaian ketidakkonsistenan tersebut, yakni Pertama, Faktor perangkat hukumnya yang muncul dari pertanyaan awal yakni bagaimana Negara membingkai perangkat hukumnya. Kedua, bagaimana semangat penyelenggara Negara dan warga masyarakatnya.
Tulisan ini hendak mengulas pengaruh konfigurasi politik semenjak tanggal 17 Agustus 1945 sampai dengan era reformasi (1998-2006) dan produk hukum yang dihasilkan sebagai akibat konfigurasi politik. Pada bagian lain juga akan melihat potret Negara hukum kita, dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh kondisi Negara kita yang demokratis maupun pada masa kondisi Negara kita dikuasai oleh pemerintahan yang otoritarian.
Sistem hukum nasional tidak pernah terlepas dari struktur ruhaniah masyarakat yang mendukung sistem hukum tersebut. Dengan kata lain, sistem hukum suatu negara selalu berhubungan erat dengan kebudayaan, struktur berpikir, dasar nilai, keimanan, penjelmaan kepribadian, sifat dan corak masyarakat dimana hukum itu dilahirkan dan ditumbuhkan. (Ahmad Ubbe, : 2003 Hal 1).



Bingkai Negara Hukum

Pada masa orde lama (5 Juli 1959-Maret1966) dimana dominasi kekuasan Negara terhadap rakyat sangat kuat, semangat penyelenggaraan Negara diwarnai nuansa sentralistik yang otoriter, paham Negara hukum (rechtsstaat), seperti yang didengung-dengungkan dalam penjelasan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menjadi slogan yang selalu memunculkan perdebatan. Betulkah hukum menjadi panglima dalam setiap penyelesaian masalah yang fundamental dalam penyelenggaraan Negara. Bukankan yang terjadi sebaliknya, bahwa dominasi politik selalu mewarnai pengambilan keputusan dan kebijakan penyelenggaraan Negara. Domain politik dan domain hukum hanya berbatas tipis baik dalam interprestasi dan implementasinya, sesuai kehendak penguasa yang mendominasi keputusan-keputusan fundamental.
Pada masa orde baru (Maret 1966- Mei 1998), terjadi penterjemahan konsep Negara hukum materiil dimana Negara dapat menggunakan kewenangan yang melekat padanya mendasar pada kekuasaan formal (freis ermersen), sebagai penterjemahan konsep Negara kesejahteraan (welfare state). Dalih demi kepentingan umum selalu dijadikan alasan pembenar bagi setiap pengambilan keputusan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Perhitungan ekonomi hampir selalu dikedepankan dalam setiap pengambilan keputusan, dan kurang memperhatikan aspek sosial, budaya dan aspek-aspek lain yang terkait.
Masa orde baru juga tidak terjadi perubahan yang fundamental, karena baik era orde lama-orde baru masih memberkakukan UUD Tahun 1945. Pada awal berkuasanya dua rezim di masa itu, Negara menunjukkan sikap yang demokratis dan menghasilkan produk hukum yang responsif, tapi setelah selang beberapa tahun kemudian kembali pada model kekuasaan yang non demokratis. Harus kita akui memang ada semangat baru untuk merubah potret penyelenggaraan Negara, ketika gerakan ajakan pengamalan Pancasila dan UUD Tahun 1945 secara murni dan konsekwen gencar dilakukan pada era ini. Namun hakekat yang tersembunyi dari kehendak yang kuat untuk mempertahankan Pancasila dan UUD Tahun 1945 adalah dikandung maksud untuk melanggengkan kekuasaan yang pada waktu itu di dominasi oleh kekuatan Militer dan Golkar.
Pidato Presiden Suharto pada tanggal 1 Mei 1998 yang menyatakan mengundurkan diri dari Jabatan Presiden setelah terjadi gelombang unjuk rasa besar-besaran yang dimotori mahasiswa, pemuda dan berbagai komponen bangsa di Jakarta dan di Daerah-daerah di Indonesia, merupakan tonggak pertama terjadinnya era baru yakni era reformasi.
Era reformasi memberikan harapan besar bagi terjadinya perubahan, menuju penyelenggaraan negara yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, sehingga mampu mewujudkan pemerintahan good governance dan adanya kebebasan berpendapat. Semua hal itu diharapkan mampu mendekatkan bangsa pada pencapaian tujuan nasional sesuai amanat Pembukaan UUD Tahun 1945. Reformasi juga diharakan mampu mendorong perubahan mental bangsa, baik pemimpin maupun rakyatnya, sehingga mampu menjadi bangsa yang menganut dan menjunjung tinggi nilai kebenaran, keadilan, kejujuran, dan persamaan.
Setidaknya ada enam tuntutan populer yang didesakkan pada era reformasi, antara lain sebagai berikut :
1. Amandemen UUD Tahun 1945.
2. Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI.
3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan HAM, serta pemberantasn KKN.
4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pemerintah Pusat dan Daerah (otonomi).
5. Mewujudkan kebebasan Pers.
6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. (Sekjen MPR, 2006 : 3)
Supremasi hukum ? Itulah kehendak sebagian besar masyarakat Indonesia sesudah reformasi berjalan. Bingkai pemerintahan sebelumnya yang bertumpu pada UUD Tahun 1945 sebelum perubahan membuka peluang bagi berkembangnya praktek penyelenggaraan Negara yang tidak sesuai dengan jiwa/kepribadian bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945, yakni antara lain :


1. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antar lembaga Negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
2. Infrastruktur politik yang dibentuk antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi, sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
3. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
4. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli, dan monopsoni.
Tuntutan perubahan yang merupakan salah satu agenda adalah perubahan UUD Tahun 1945 yang dilakukan MPR, selain merupakan perwujudan reformasi juga sejalan dengan Pidato Ir. Soekarno, Ketua Panitia Penyusun UUD Tahun 1945, yang dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, menyatakan “bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.
Perubahan UUD Tahun 1945 mengenai Indonesia adalah Negara hukum diatur dalam satu Pasal, yaitu Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum” Ketentuan ini berasal dari Penjelasan UUD Tahun 1945, yang diangkat kedalam Pasal UUD Tahun 1945 perubahan. Negara hukum yang dimaksud adalah Negara yang menegakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). Masuknya rumusan itu kedalam UUD Tahun 1945 merupakan salah satu contoh pelaksanaan kesepakatan dasar dalam melakukan perubahan, yakni kesepakatn untuk memasukkan hal-hal normatif yang ada di dalam Penjelasan ke dalam Pasal-pasal.
Masuknya ketentuan mengenai Indonesia adalah Negara hukum dari penjelasan yang semula rumusan lengkapnya adalah “ Negara yang berdasar atas hukum” ke dalam Pasal dimaksudkan untuk memperteguh paham bahwa bangsa Indonesia adalah Negara hukum, baik dalam penyelenggaraan Negara maupun kehidupan berbangsa dan bermasyarakat.
Secara umum, dalam setiap Negara yang menganut paham Negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (eguality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap Negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya :
1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa pemerintah/Negara maupun warga Negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.
Berdasarkan ketentuan, Pasal 24 negara hukum Indonesia mengenal juga adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu lingkungan peradilan disamping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan agama. Adapun PTUN sering juga diterima sebagai salah satu ciri Negara hukum.
Didalam lieratur memang dikenal juga ciri lain sebagi varian di dalam Negara hukum, yakni adanya peradilan tata usaha Negara atau peradilan administrasi (administratief rechtsspraak). Namun ciri itu tidak selalu ada dinegara hukum, karena sangat tergantung pada tradisi yang melatarbelakanginya. Ciri itu biasanya ada di Negara dengan latar belakang tradisi Eropa Kontinental dengan menggunakan istilah rechsstaat. Didalam rechsstaat pelembagaan peradilan dibedakan dengan adanya peradilan khusus administrasi Negara karena pihak yang menjadi subyek hukum berbeda kedudukannya yakni pemerintah/pejabat tata usaha Negara melawan warga Negara sebagai perseorangan atau badan hukum privat. Namun di Negara hukum yang berlatar belakang tradisi Anglo Saxon yang Negara hukumnya menggunakan istilah the rule of law peradilan khusus tata usaha Negara pada umumnya tidak dikenal, sebab pandangan dasarnya semua orang (pejabat atau bukan pejabat) berkedudukan sama didepan hukum.

Indonesia Negara Hukum Seperti Apa ?

Konsep Negara hukum formil, dimana terjadi pemisahan yang ketat diantara lembaga penyelenggara (Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif), pada kenyataannya banyak merugikan kepentingan rakyat, karena pada kenyataannya pemerintahan lebih banyak bersikap menunggu/pasif. Tidak adanya kebebasan eksekutif dalam mengimplementasikan kewenangan (sebagai pelaksana undang-undang murni), pada kenyataannya banyak menimbulkan masalah-masalah baru yang penyelesaiannya lambat. Oleh sebab itu kita tidak menganut paham Negara hukum formil. Ketiga poros kekuasaan mempunyai fungsi yang tidak limitatif. Praktek pembatasan diantara ketiga lembaga tersebut secara tegas telah terbukti membawa stagnasi dalam pembangunan hukum kita.
Meskipun tidak sepenuhnya menganut paham Negara hukum dari Eropa Kontinental, karena warisan sistem hukum Belanda, Indonesia menerima dan melembagakan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam sistem peradilannya. Sementara itu penggunaan istilah rechsstaat dihapus dari UUD Tahun 1945 sejalan dengan peniadaan Penjelasan UUD Tahun 1945. Istilah resmi yang dipakai sekarang adalah “negara hukum” seperti yang tercantum dalan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 hasil perubahan yang menyerap substansi rechsstaat dan the rule of law sekaligus. Unsur konsepsi Negara hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon (the rule of law) di dalam UUD Tahun 1945 terlihat dari bunyi Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Konsekwensi ketentuan itu adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat Negara dan penduduk (warga Negara dan orang asing) harus berdasarkan hukum. Ketentuan itu sekaligus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun oleh penduduk.
Pahan Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan Negara kesejahteraan (welfare state) atau paham Negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea keempat Pembukaaan UUD Tahun 1945. Pelaksanaan paham Negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya Negara kesejahteraan di Indonesia.
Negara Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, berarti terdapat tanggung jawab Negara untuk mengembangkan kebijakan Negara di berbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan umum (public services) yang baik, melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.

Determinasi Politik atas Hukum.

Asumsi ini berawal dari pemahaman kita bahwa sesungguhnya hukum itu sangat dipengaruhi politik. Singkat kata hukum merupakan produk politik, sehingga tidak berlebihan jika hukum merupakan kristalisasi kehendak kekuatan-kekuaan politik yang saling berkompetisi. Konfigurasi politik yang ada pada kurun waktu tertentu akan melatarbelakangi suatu produk hukum dan mempengaruhi potret hukum pada saat itu juga, atau dengan kata lain bahwa “politik itu determinan atas hukum”. (Moh Mahfud MD, 1999 : 291). Perjalanan sejarah telah membuktikan selalu terjadi tarik ulur atau pasang surut antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter Sebagai gambaran, penulis sampaikan sejarah perjalanan konfigurasi politik Negara kita, sebagai berikut :
1. Pada awal kemerdekaan (18 Agustus-16 Oktober 1945), melalui Ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 secara formal Negara tersusun dengan konfigurasi politik yang sangat otoriter, karena menyerahkan kekuasaan MPR, DPR, dan DPA kepada Presiden sebelum Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dibantu oleh sebuah komite nasional.
2. Melalui Maklumat No. X Tahun 1945 yang kemudian disusul dengan perubahan sistem kabinet, konfigurasi politik berubah menjadi sangat demokratis (1945-1959).
3. Konfigurasi politik yang demokratis ini bergeser menjadi sangat otoriter sejak dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberi jalan bagi Bung Karno untuk menerapkan konsepsi demokrasi terpimpinnya (1959-1966).
4. Ketika orde baru lahir pada Bulan Maret 1966 konfigurasi politik kembali bergeser kearah yang demokratis. Semboyan yang dikumandangkan ketika itu adalah menegakkan kehidupan yang demokratis dan konstitusional, melaksanakan Pancasila dan UUD Tahun 1945 secara murni dan konsekwen, membangun supremasi hukum dan sebagainya (1966-1969/1971).
5. Keadaan demokratis hanya berlangsung selama tiga tahun pada awal orde baru, sebab setelah seminar AD II, memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi, maka format baru politik Indonesia yang disusun adalah format yang tidak demokratis, format yang memberikan kekuatan politik bagi pemerintah (eksekutif) melalui tangan-tangannya di MPR dan DPR. Tujuannya adalah agar bisa tercipta stabilitas politik yang dapat memperlancar jalannya pembangunan (ekonomi). Format politik yang baru itu dituangkan di dalam dua Undang-Undang Politik, yakni UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU N0. 16 Tahun 1969 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD. Meskipun telah beberapa kali diubah, kedua Undang-undang ini secara substansial tetap berlaku sampai runtuhnya orde baru (1998).
6. Konfigurasi Politik era reformasi (1998-sekarang) lebih diwarnai kemauan politik Wakil-wakil rakyat di Lembaga Formal (MPR DPR dan DPD) seperti tuntutan pelaksanaan otonomi daerah yang luas (UU No.22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, perimbangan pembagian keuangan yang lebih besar porsinya untuk Daerah ( UU No 25 Tahun 1999 dan UU No 33 Tahun 2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam bidang Politik juga muncul UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol, UU No.12 Tahun 2003 tentang Pemihan Anggota DPR, DPD dan DPRD, UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR,DPR,DPD dan DPRD dan sebagainya. Nuansa yang hendak dibangun dalam sistem politik dan penyelenggaraan Negara adalah sebuah konfigurasi politik yang demokratis, dan sudah secara nyata selama kurun waktu delapan tahun terakhir bangsa kita telah banyak melahirkan produk-produk hukum yang responsif, meski disana-sini perlu penyempurnaan.
Penetapan demokratis dan otoriter itu didasarkan pada konsep dan indikator-indikator tertentu, sebab kedua istilah tersebut bersifat ambigu (Moh Mahfud MD, 1999 : 294). Indikator –indikator yang dipergunakan adalah peranan lembaga perwakilan rakyat, peranan eksekutif, dan tingkat kebebasan pers. Beberapa hal yang tampak dari indikator tersebut adalah :
1. Lahirnya konfigurasi politik demokratis dan otoriter tidak ditentukan oleh UUD yang berlaku. UUD yang sama pada waktu yang berbeda (seperti UUD Tahun 1945) dapat melahirkan konfigurasi politik yang demokratis (periode 1945-1949 dan 1966-1969/1971) dan konfigurasi politik yang otoriter (periode 1959-1969 dan 1969/1971-sampai 1998), sebaliknya UUD Tahun 1945 yang berada pada periode yang sama (UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUD Sementara 1950) yang berlaku selama periode 1945-1959 menampilkan konfigurasi yang sama, yakni demokratis. Dengan demikian demokratis atau tidaknya sebuah sistem politik tidak tergantung semata-mata pada UUD-nya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh pemain-pemain politiknya.
2. Khusus untuk hukum publik yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan (gezagsverhouding), ternyata konfigurasi politik tertentu melahirkan produk hukum dengan karakter tertentu, yakni konfigurasi politik yang demokratis senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan produk hukum yang berkarakter konservatif. Hal tersebut dapat ditandai antara lain :
a. Dalam pembuatannya produk hukum yang responsif, menyerap aspirasi masyarakat seluas-luasnya (partisipatif), sedangkan produk hukum yang konservatif lebih didominasi lembaga-lembaga Negara terutama pihak eksekutif (sentralistis).
b. Cerminan isi produk hukum yang responsif adalah aspiratif dalam arti mencerminkan kehendak aspirasi umum masyarakat, sedangkan produk hukum yang konservatif adalah positivistik-instrumentalistik dalam arti lebih mencerminkan kehendak atau memberikan justifikasi bagi kehendak-kehendak dan program pemerintah.
c. Cakupan isi hukum yang responsif biasanya rinci, mengatur hal-hal secara jelas dan cukup detail (limitatif) sehingga tidak dapat ditafsirkan secara sepihak oleh lembaga eksekutif, sedangkan hukum konservatif biasanya memuat hal-hal yang pokok-pokok dan ambigu, sehingga memberi peluang luas bagi pemerintah untuk membuat penafsiran secara sepihak melalui berbagai peratuan pelaksanaan yang sifatnya interpretatif.
(Moh Mahfud MD, 1999 : 296).

Sikap Ambigu dalam Tataran Implementasi Hukum

Lantas bagaimana potret Negara hukum kita saat ini ? Kita memang terjebak pada keadaan yang ambiguous, karena tidak memiliki kepastian orientasi tentang konsepsi negara hukum mana yang kita anut, apakah rechsstaat atau the rule of law ? (Moh Mahfud MD, 1999 : 364). Didalam salah satu Pasal UUD Tahun 1945, kita kenal istilah Negara hukum yang diadopsi dari kata rechsstaat dari penjelasan UUD Tahun 1945, meski istilah tersebut telah dihapus, tetapi didalam keseluruhan elemen konstitusi ini terdapat elemen-elemen rechsstaat maupun the rule of law. Bahkan dalam Undang-undang Pokok Kehakiman kita, UU No. 14 Tahun 1970 terakhir dengan UU No. 35 Tahun 1999 ada arahan, agar para hakim dalam memutus perkara, supaya menggali rasa keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, yang berarti tidak harus berpatokan secara ketat kepada peraturan perundang-undangan. Namun pada saat yang sama, ada arahan untuk berpegang teguh pada asas legalitas, yang berarti harus berpegang pada peraturan perundang-undangan.
Ambiguitas atau konsep sintetis seperti ini sering menimbulkan situasi yang runyam, karena tidak jarang ada klaim yang saling bertentangan, tetapi masing-masing menyatakan berpijak pada prinsip Negara hukum. Situasinya menjadi lebih runyam dengan adanya sikap ingin menang dalam berperkara, dan bukan ingin menegakkan dan keadilan. Jika perkara dapat dimenangkan dengan konsep rechsstaat, dalil yang digunakan adalah asas legalitas dan kepastian hukum, tetapi pada saat yang lain, untuk memenangkan perkara lain justru yang ditonjolkan adalah kebebasan hakim untuk memutus perkara berdasarkan rasa keadilan sehingga hakim harus berani keluar dari ketentuan/undang-undang yang berlaku.

Pemencaran Kekuasaan

Paham Negara hukum demokratis hanya akan mendapat pengakuan dari teori dan pendapat siapapun, apabila adanya pemencaran kekuasan. Pemencaran secara horizontal akan terlihat pada bekerjanya lembaga-lembaga pemegang kekuasaan Negara, seperti MPR, DPR, MA, BPK dan lembaga yang setingkat seperti Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial (hasil Perubahan UUD Tahun 1945). Sedangkan pemencaran kekuasaan secara vertikal akan menghasilkan hubungan Pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang akan melahirkan otonomi dan desentralisasi pada tipe Negara yang demokratis dan sentralistik berpadanan dengan dekonsentrasi pada Negara yang tidak demokratis.
Baik pada kurun waktu 1945-1959, era orde lama (1959-1966) maupun era orde baru (1966-1998) dan terakhir era reformasi (1998-sekarang), terjadi konfigurasi Politik yang berpengaruh pada konfigurasi hukum yang silih berganti antara paham Negara hukum yang demokratis maupun paham Negara hukum non demokratis yang tekanannya pada pola hubungan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dapat berwujud otonomi berpasangan dengan desentralisasi (penyerahan kekuasaan) dihadapkan pada perubahan yang sentralistik berpasangan dengan dekonsentrasi (pelimpahan kekuasaan).
Dinamika kehidupan ketatanegaraan dari kurun waktu tertentu yang tidak sama pada kenyataannya banyak dipengaruhi oleh konfogurasi politik yang sedang eksis pada waktu itu. Tidaklah berlebihan jika labilitas kehidupan ketatanegaraan tersebut berpengaruh pula pada pola hubungan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.

Penutup

Menurut pendapat penulis, akan lebih bijak sekiranya penerapan konsepsi negara hukum tersebut dikombinasikan dengan pilihan yang tegas. Pada saat penerapan hukum yang bersifat publik khususnya hukum pidana, akan lebih tepat apabila konsepsi Negara hukum rechsstaat yang kita terapkan. Namun pada saat yang lain, yakni ketika hakim memeriksa perkara hukum privat konsepsi Negara hukum the rule of law, menjadi lebih dapat memberikan rasa keadilan dan menghindarkan para pencari keadilan dari sekedar ingin memenangkan suatu perkara. Aspek legal formal menjadi penentu dalam upaya penegakan hukum, dengan tetap memperhatikan kepastian dan kesebandingan hukum.
Kembali pada konsep semula bahwa, sebaik apapun suatu produk hukum apabila semangat para penyelenggara Negara maupun warga masyarakatnya, tidak mempunyai “kehendak” untuk menjadikan hukum sebagai instrumen pemberi perlindungan dan keadilan, sehingga supremasi hukum diabaikan, maka tragedi hukum akan terus menerus terjadi dan menjadi bahan perdebatan yang tidak pernah berujung.

oo00oo

Nining Sukardi: HUBUNGAN ANTARA HUKUM TATA USAHA NEGARA DENGAN PER...

Nining Sukardi: HUBUNGAN ANTARA HUKUM TATA USAHA NEGARA DENGAN PER...: "*Oleh : Muhadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Hukum Tata Usaha Negara mempunyai peristilahan lain yang sering kita dengar dalam nom..."

Rabu, 17 November 2010

HUBUNGAN ANTARA HUKUM TATA USAHA NEGARA DENGAN PERWUJUDAN TUJUAN NEGARA *Oleh : Muhadi

*Oleh : Muhadi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Hukum Tata Usaha Negara mempunyai peristilahan lain yang sering kita dengar dalam nomenklaturnya yang berbeda. Sebagian mengunakan istilah Hukum Tata Pemerintahan dan yang lainnya dengan istilah Hukum Administrasi Negara. Dalam konteks ini penulis gunakan istilah Hukum Tata Usaha Negara, dengan pertimbangan, istilah lain seperti Hukum Administrasi Negara misalnya, mempunyai makna yang hampir sama dengan cabang ilmu lain, sehingga terkadang rancu dengan pengertian ”administrasi” oleh disiplin ilmu lain, terlebih ilmu administrasi, khususnya Ilmu Administrasi Negara, yang kedua-duanya mengandung konotasi negara atau publik, sehingga tidak perlu atribusi istilah seperti negara atau publik. Pengaturan Hukum Administrasi Negara khususnya di Indonesia sangat luas yang salah satunya adalah Hukum Tata Usaha Negara, yang merupakan hukum tentang birokrasi negara, tentang penyelenggaraan komunikasi, registrasi, statistik, dan lain-lain pekerjaan kantor-kantor pemerintah serta surat-surat keterangan lainnya .
Hukum Tata Usaha Negara mengkaji kekuasaan aparatur pemerintah dan perbuatan pemerintah yang dapat melahirkan hak dan kewajiban. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, pemerintah dapat berbuat dan bertindak tegas dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugasnya sesuai kewenangannya. Dewasa ini kekuasaan administrasi negara menunjukkkan kecenderungan semakin kuat, terutama sejak konsep penerjemahan negara hukum materiil kembali mengilhami negara kita semenjak amandemen UUD 1945 di finalkan pada tahun 2002. Konsep negara hukum materiil yang dinamis atau yang lebih terkenal dengan istilah welfare state menuntut campur tangan negara begitu luas, dimana negara mencampuri tidak saja urusan-urusan eksekutif. Negara dituntut cepat dan tanggap dalam upaya mensejahterakan rakyat. Kongkritisasi dari konsep negara hukum marteriil tersebut adalah dalam bentuk regulasi dan kebijakan-kebijakan yang dituntut selalu cepat untuk mengoptimalkan tujuan negara.
B. Permasalahan
Konsep negara hukum formal di awali dari kemunculan asas demokrasi di Eropa, dimana hak-hak politik rakyat dan hak-kak asasi manusia secara individu merupakan tema dasar dalam pemikiran politik (ketatanegaraan). Untuk itu maka kemudian timbul gagasan tentang cara membatasi kekuasaan pemerintah melalui pembuatan konstitusi baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Diantara konstitusi inilah bisa ditentukan batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak-hak politiknya, sehingga konsekwensinya kekuasaan pemerintah diimbangi dengan kekuasaan lembaga lain. Gagasan inilah yang kemudian dikenal konstitusionalisme. Salah satu ciri penting dalam negara yang menganut konstitusionalisme (demokrasi konstitusional) adalah sifat negara/pemerintahnya yang pasif, artinya pemerintah hanya menjadi wasit atau pelaksana dari berbagai keingginan rakyat yang dirumuskan oleh wakil rakyat di parlemen. Disini peran negara lebih kecil daripada peran rakyat, karena pemerintah hanya menjadi pelaksana (tunduk pada) keinginan-keinginan rakyat yang diperjuangkan melalui wakil-wakilnya. Konstitusionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktifitas yang diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa pembatasan yang dimaksud untuk memberi jaminan bahwa kekuasaan yang diperlukan untuk memerintah itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas untuk memerintah .
Perumusan yuridis tentang gagasan konstitusionalisme dicapai pada abad 19 dan permulaan abad 20 yang ditandai dengan pemberian istilah rechtstaat yang diberikan peristilahannya oleh ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental atau rule of law yang merupakan peristilahan dari kalangan ahli Anglo Saxon. Rechtstaat atau rule of law yang di Indonesia diterjemahkan dengan ”negara hukum” ini pada abad 19 sampai 20 kemudian dikenal dengan peristilahan negara hukum klasik (formal) yang mempunyai ciri-ciri antara lain :
1. Hak-hak asasi manusia.
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia itu yang
biasa dikenal sebagai trias politika.
3. Pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan (wetmatigheid van bestuur).
4. Peradilan administrasi dalam perselisihan .
Dari pencirian itu pula semakin terlibat betapa peranan pemerintah hanya sedikit, sebab disana ada dalil ”pemerintahan yang paling sedikit yang paling baik”, sehingga karena sifatnya yang pasif dan tunduk pada kemauan rakyat yang liberalistik, maka negara diperkenalkan sebagai nachtwachterstaat (negara penjaga malam). Pemerintah sebagai nachtwachterstaat sangat sempit ruang geraknya bukan saja dalam lapangan politik tetap juga dalam lapangan ekonomi yang dikuasai oleh dalil laisser faire, laisser faire atau keadaan ekonomi negara akan sehat jika setiap manusia dibiarkan mengurus kepentigan ekonominya masing-masing. Ditinjau dari dari sudut politik, pada pokoknya tugas primer suatu negara nachtwachterstaat adalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari mereka yang menguasai alat-alat pemerintah, yakni rulingclas yang merupakan golongan eklusif, sedangkan nasib mereka yang bukan rulingclas tidak dihiraukan oleh nachtwachterstaat .
Berdasarkan uraian tersebut diatas, munculah pertanyaan berkaitan dengan sejarah dan hubungan Hukum Tata Usaha Negara dengan tujuan negara Indonesia, yakni :
1. Bagaimanakah sejarah perkembangan Hukum Tata Usaha Negara Indonesia ?
2. Bagaimanakah hubungan antara Hukum Tata Usaha Negara dengan tujuan negara kita
berdasarkan konstitusi negara kita ?
Pembahasan konsep tujuan negara tidak lepas dari kedua hal tersebut diatas, Permasalahan tujuan negara terkait dengan idiologi negara, paham kebangsaannya dan kebijakan politik dan hukumnya. Dengan mengetahui sejarah dalam konstitusi dan mencari hubungannya dengan tujuan negara, maka akan dapat diketahui, sebenarnya Indonesia itu penganut negara hukum seperti apa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Mengingat masih mudanya usia Hukum Tata Usaha Negara, maka masih terdapat pengertian yang beragam mengenai Hukum Tata Usaha Negara, diantaranya ada yang mendefinisikan, Hukum Tata Usaha Negara adalah rangkaian aturan-aturan yang harus diperhatikan oleh alat-alat perlengkapan negara didalam menjalankan kekuasaannya. Rumusan tersebut banyak yang mengajukan keberatan sebab mempunyai makna yang sangat luas yang meliputi perbuatan hukum publik dan perbuatan hukum privat, sehingga alat perlengkapan negara sebagai suatu organ badan hukum sangat heteronom dan sangat kompleks. Sedangkan pendapat yang lain mengatakan bahwa Hukum Tata Usaha Negara adalah sebagai rangkaian aturan-aturan hukum yang mengatur cara bagaimana alat-alat perlengkapan negara menjalankan tugasnya.
Dalam melaksanakan tugasnya dengan sendirinya alat-alat perlengkapan negara akan menimbulkan hubungan-hubungan yang disebut hubungan hukum, yang dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yakni :
1. Hubungan antara alat administrasi negara yang satu dengan alat administrasi negara yang lainnya.
2. Hubungan alat administrasi negara dengan perseorangan atau dengan warga negaranya atau dengan badan hukum swasta.
Di dalam negara hukum, hubungan-hubungan hukum tersebut disalurkan dalam kaidah-kaidah hukum tertentu yang merupakan materi dari Hukum Tata Usaha Negara. Jadi yang penting adalah perbuatan hukum alat administrasi negara dalam hubungannya dengan warga negaranya, yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban, hak dan kewajiban tersebut muncul berdasarkan peraturan perundang-undangan dan dapat terjadi secara :
1. Langsung , artinya tanpa perantaraan perbuatan alat administrasi negara.
2. Tidak langsung, artinya bahwa meskipun hak-hak dan kewajian-kewajiban itu telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi untuk dapat timbulnya hak-hak dan kewajiban tersebut masih diperlukan adanya perbuatan khusus dari alat administrasi negara, yang apabila dilihat dari segi bentuknya dapat berupa ketetapan, izin, dispensasi, konsesi, lisensi dan sebagainya .

B. Sejarah
Proklamasi 17 Agustus 1945 melahirkan sutu negara Indonesia merdeka yang bentuk dan sistem pemerintahannya pertama kali diatur keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam UUD 1945 . UUD 1945 dapat dipandang sebagai akte pendirian negara Indonesia dari negara Republik Indonesia.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI disamping disahkan UUD 1945 juga diangkat Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian pada tanggal 19 Agustus tahun 1945 oleh PPKI ditetapkan susunan kementrian negara serta pada tanggal 2 September Presiden mengangkat Menteri-menteri Negara yang masing-masing mengepalai satu departemen, yaitu :
1. Dalam Negeri;
2. Luar Negeri;
3. Kehakiman;
4. Keuangan;
5. Kemakmuran;
6. Kesehatan;
7. Pengajaran dan Pendidikan;
8. Sosial;
9. Pertahanan;
10. Penerangan;
11. Perhubungan; dan
12. Pekerjaan Umum .


Mengingat situasi saat itu, maka sistem pemerintahan menurut UUD 1945 belum dapat dilaksanakan secara penuh. Usaha-usaha Belanda untuk menguasai kembali negara kita akhirnya melahirkan suatu negara serikat. Masa negara serikat tidak bertahan lama karena tidak sesuai dengan semangat dan ide perjuangan bangsa. Pada tanggal 17 Agustus 1945 kembali ke negara kesatuan. Kembalinya ke negara kesatuan tidak memberlakukan kembali UUD 1945, namun dengan mengadakan berbagai perubahan untuk disesuaikan dengan bentuk negara kesatuan terhadap Konstitusi RIS. Dengan demikian jiwa konstitusi RIS dilanjutkan oleh UUDS 1950 khususnya mengenai bentuk kabinet parlementer, yang artinya menteri-menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintah, baik bersama-sama atau seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri. Tugas pemerintah di bidang eksekutif adalah menyelenggarakan kesejahteraan Indonesia dan teristimewa berusaha supaya UUD, Undang-Undang dan Peraturan-peraturan lain dijalankan. Untuk membentuk DPR dan Dewan Konstituante, dibawah UUDS 1950 telah diselenggarakan pemilu. Ternyata hasil pemilu itu kemudian menimbulkan masalah dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Sistem pemerintahan parlementer di era UUDS 1950 pada perjalanannya tidak membawa stabilitas politik, karena kabinet parlementer sering kandas jatuh ditengah jalan akibat mosi tidak percaya oleh parleman. Terlebih dengan konsep demokrasi liberal, dimana kepentingan/hak individu diberi kebebasan, maka jelas demokrasi yang terbangun di era UUDS 1950 tidak sesuai dengan semangat dan jiwa bangsa Indonesia. Akibat ketidakstabilan pemerintahan dan konstituante gagal membentuk UUD, maka pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang intinya membubarkan konstituante dan menyatakan kembali kepada UUD 1945.
Kemudian keluarlah konsep demokrasi terpimpin yang inti dari permusyawaratan adalah “musyawarah untuk mufakat” yang bilamana hal itu tidak dapat dicapai maka musyawarah mufakat harus menempuh salah satu jalan berikut :
1. Persoalannya diserahkan kepada pemimpinnya untuk mengambil kebijaksanaan dengan memperhatikan pendapat-pendapat yang bertentangan.


2. Persoalannya ditangguhkan.
3. Persoalannya ditiadakan sama sekali .
Pada perkembangannya demokrasi terpimpin ini tidak sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia, pelaksanaan pemerintahan dengan demokrasi terpimpin ternyata mengarah ke pemusatan kekuasaan ditangan Presiden, sehingga Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 tentang “Prinsip-prinsip Musyawarah untuk Mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan” dicabut dengan ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968 tentang Pencabutan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/1965 dan tentang Pedoman Pelaksanaan Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan atau sesuai dengan Diktum Tap tersebut, yakni tentang Demokrasi Pancasila, yang kemudian kembali dicabut dengan Tap MPR No. V/MPR/1973. Bagi Demokrasi Pancasila untuk mengatasi kemacetan karena tidak dapat tercapainya mufakat bulat, maka jalan voting (pemungutan suara) bisa ditempuh.
Situasi nasional ternyata makin sulit, baik dibidang politik dan ekonomi. Keadaan ini disusul dengan meletusnya G. 30. S. PKI pada tahun 1965. Peristiwa itu sekaligus menarik garis pemisah masa pemerintahan sebelumnya dan masa pemerintahan sesudahnya yang dalam politik dikenal dengan orde lama dan orde Baru. Politik pembangunan di Indonesia ternyata telah mengembangkan peraturan Hukum Tata Usaha Negara yang menjangkau hampir seluruh lapangan kehidupan masyarakat. Dalam kaitannya dengan Pemerintahan Daerah lahir Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Berkaitan dengan penanaman modal keluar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan peraturan-peraturan perundang-undangan lain seperti tentang koperasi, peternakan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Disamping pembuatan peraturan perundang-undangan tentang berbagai kehidupan masyarakat, juga telah muncul berbagai kebijakan deregulasi dan debirokratisasi.


Pada tanggal 29 Desember tahun 1986 telah disahkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Lahirnya Undang-undang ini memberikan penghargaan tersendiri bagi Hukum Tata Usaha Negara. Disamping Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung mempersiapkan hal-hal teknis tentang pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, departemen lainnya membenahi diri dalam bidang Hukum Tata Usaha Negara seperti tentang bagaimana membuat keputusan yang baik dan benar agar tidak terjadi Gugatan Tata Usaha Negara.

C. Hubungan Hukum Tata Usaha Negara dengan tujuan negara.

Usaha memahami perkembangan peranan negara dapat pula dikaji dari perpektif negara hukum atau teori demokrasi konstitusional. Pemunculan kembali prinsip demokrasi sebagai prinsip fundamental kehidupan bernegara telah mengantarkan pada timbulnya demokrasi konstitusional yang memberikan lingkup peranan negara secara berlainan.
Demokrasi konstitusional yang hidup pada abad ke 19 yang terkenal dengan istilah negara hukum formal memberikan batasan yang sempit terhadap negara untuk memainkan peranannya. Dalam demokrasi dengan negara hukum formal, pemerintah bersifat pasif, hanya menjadi panitia kecil keingginan masyarakat yang diperjuangkan secara liberal, sehingga negara atau pemerintah lebih bersifat sebagai penjaga malam (nachtwachterstaat) karena peranannya yang kecil dan kedudukannya yang berada dibawah pengaruh rakyat (pluralisme liberal) .
Keadaan ini berubah dengan munculnya paham demokrasi konstitusional pada abad ke 20 yang merupakan reaksi terhadap negara hukum formal. Demokrasi konstitusional abad ke 20 yang dikenal dengan negara hukum materiil atau welfare state ini telah merentang tugas pemerintahan sedemikian luasnya. Pemerintah dalam negara hukum materiil, tidak boleh lagi pasif, tetapi harus aktif dan bertanggung jawab melaksanakan pembangunan masyarakatnya agar mencapai tingkat kesejahteraan maksimal. Bahkan untuk dapat melaksanakan tugasnya pemerintah diberi kewenangan yang luas untuk turut campur dalam seluruh kegiatan masyarakat, yang kemudian legalitasnya dalam Hukum Tata Usaha Negara disebut freies ermessen (discretionary power). Dan dalam rangka discretionary power ini dibidang perundang-undangan pemerintah diberi kewenangan delegatif membuat peraturan-peraturan dan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang bersifat enunsiatif .
Dalam kaitannya dengan negara Indonesia kita dapat menelusuri konsep demokrasi konstitusional dalam UUD 1945 baik yang asli atau hasil amandemen. Penemuan tentang kepastian dianutnya konsep ini penting karena dari sanalah secara konstitusional kita dapat melihat betapa besarnya atau seberapa besar peluang bagi peranan negara.
Ketentuan yang termuat dalam konstitusi kita dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil amandemen, yang awalnya diambil dari penjelasan UUD 1945 asli, dengan istilah rechtsstaat yang kemudian diangkat dalam pasal dan berbunyi ”Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksudkan bukanlah negara hukum dalam arti pelanggar hukum. Pengertian negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara hukum dalam arti luas, yaitu negara hukum dalam arti materiil .
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (eguality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law). Dalam penjabaran selanjutnya, pada setiap negara hukum akan terlihat ciri-ciri adanya :
1. Jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia;
2. kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka;
3. legalitas dalam arti hukum, yaitu bahwa pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum.
Berdasarkan ketentuan, Pasal 24 UUD 1945 negara hukum Indonesia mengenal juga adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu lingkungan peradilan disamping peradilan umum, peradilan militer dan peradilan agama. Adapun PTUN sering juga diterima sebagai salah satu ciri negara hukum.
Didalam literatur memang dikenal juga ciri lain sebagi varian di dalam negara hukum, yakni adanya Peradilan Tata Usaha Negara atau peradilan administrasi (administratief rechtsspraak). Namun ciri itu tidak selalu ada di negara hukum, karena sangat tergantung pada tradisi yang melatarbelakanginya. Ciri itu biasanya ada di negara dengan latar belakang tradisi Eropa Kontinental dengan menggunakan istilah rechtstaat. Didalam rechtstaat pelembagaan peradilan dibedakan dengan adanya peradilan khusus administrasi negara karena pihak yang menjadi subyek hukum berbeda kedudukannya yakni pemerintah/pejabat tata usaha negara melawan warga negara sebagai perseorangan atau badan hukum privat. Namun di negara hukum yang berlatar belakang tradisi Anglo Saxon yang negara hukumnya menggunakan istilah the rule of law peradilan khusus tata usaha negara pada umumnya tidak dikenal, sebab pandangan dasarnya semua orang (pejabat atau bukan pejabat) berkedudukan sama didepan hukum.
Meskipun tidak sepenuhnya menganut paham negara hukum dari Eropa Kontinental, karena warisan sistem hukum Belanda, Indonesia menerima dan melembagakan adanya Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam sistem peradilannya. Sementara itu penggunaan istilah rechtstaat dihapus dari UUD 1945 sejalan dengan peniadaan Penjelasan UUD 1945. Istilah resmi yang dipakai sekarang adalah “negara hukum” seperti yang tercantum dalan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 hasil perubahan yang menyerap substansi rechtstaat dan the rule of law sekaligus. Unsur konsepsi negara hukum yang berasal dari tradisi Anglo Saxon (the rule of law) di dalam UUD Tahun 1945 terlihat dari bunyi Pasal 27 ayat (1) yang menegaskan “ Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Konsekwensi ketentuan itu adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat negara dan penduduk (warga negara dan orang asing) harus berdasarkan hukum. Ketentuan itu sekaligus dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun oleh penduduk.
Paham negara hukum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) terkait erat dengan negara kesejahteraan (welfare state) atau paham negara hukum materiil sesuai dengan bunyi alinea IV Pembukaaan UUD 1945. Pelaksanaan paham negara hukum materiil akan mendukung dan mempercepat terwujudnya negara kesejahteraan di Indonesia.
Kesimpulan yang demikian bisa kita lihat dalam UUD 1945 yang menegaskan tentang kewajiban pemerintah yang melekat pada negara hukum materiil yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Beberapa dalil yang dapat dikeluarkan dari UUD 1945 untuk menjelaskan hal tersebut adalah :
1. Didalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, sebagai bagian dari UUD 1945 yang tidak diamandemen ditegaskan bahwa salah satu fungsi pemerintah untuk mencapai tujuan negara adalah ”melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial......”. dan pada akhir alinea disebutkan bahwa salah satu dasar dari lima dasar negara (Pancasila) adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. Didalam batang tubuh UUD 1945 pada Pasal 33 dan 34 (termasuk hasil amandemen) diangkat pengertian yang tegas betapa negara harus aktif membangun kesejahteraan sosial dengan rumusan-rumusan sebagai berikut :
Pasal 33 berbunyi :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 34 berbunyi :
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Dengan demikian jelas bahwa secara konstitusional negara Indonesia menganut sistem negara hukum yang dinamis atau negara kesejahteraan (welfare state) yang dalam rangka pencapaian tujuannya menuntut konsekwensi bagi besarnya peranan negara. Dari perspektif ini kita dapat mengingat sejarah, betapa besarnya peranan negara di era orde baru, dimana terdapat alasan utama dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi yang mensyaratkan adanya stabilitas politik. Konsekwensi dari stabilitas politik adalah terkuranginya hak-hak masyarakat dalam kehidupan politik mengingat dominannya campur tangan negara dalam mencapai tujuan negara untuk mensejahteraan masyarakatnya. Alasan kepentingan umum dan kesejahteraan tersebut kemudian negara melakukan discreationary power (freies ermessen) untuk melakukan pembangunan masyarakat.
Di era reformasi dengan amanden UUD 1945, khusus Pasal-pasal yang mengatur mengenai perekonomian dan kesejahteraan sosial sebagai dasar utama dalam negara mencapai tujuannya, kelihatan bahwa Pasal-pasal krusial yang mengatur hal tersebut tidak dicabut dan bahkan disempurnakan. Tentu hal ini merupakan harapan baru upaya penerapan Hukum Tata Usaha Negara mendasar pada ketentuan dalam UUD 1945, lebih dapat diaplikasikan dengan tetap memperhatikan hak-hak masyarakat sebagai individu maupun sebagai warga negara.

oo00oo


BAB III
KESIMPULAN

Tidak dapat dipungkiri konsep negara hukum formal yang lahir pada sekitar abad 19 di Eropa telah mengalami perkembangan dan bergeser kearah konsep negara hukum materiil, sebagai akibat konsep lama terlalu kaku dan tidak mampu menjawab setiap persoalan yang muncul dalam negara, yang butuh penyelesaian secara cepat.
Sejarah telah membuktikan bahwa perkembangan kehidupan ketatanegaran di Indonesia dari sistem pemerintahan parlementer dengan bentuk negara serikat tidak sesuai dengan jiwa dan semangat bangsa Indonesia. Tujuan negara yang hendak dibangun untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat berkaitan erat dengan idiologi kenegaraannya. Situasi politik yang tidak stabil berpengaruh sebagai akibat idiologi negara yang belum mapan dalam sejarahnya telah menghambat negara dalam usahanya mencapai tujuan negara. Akhirnya dicapailah sepakat untuk membingkai kesepakatan mendasar tersebut dalam konstitusi kita, yang secara tegas dan jelas mengamanatkan agar negara lebih banyak ikut campur tangan dalam rangka mencapai tujuan negara. Kembalinya kita dengan sistem pemerintahan Presidensial baik pada era orde lama, orde baru maupun era reformasi telah memberi rambu besar terhadap penguatan institusi eksekutif yang pada sejarah perkembangan Hukum Tata Usaha Negara telah membuktikan penerapan konsep negara hukum materiil di negara Indonesia.
Hukum Tata Usaha Negara sebagai salah satu cabang ilmu hukum yang masih muda diharapkan mampu menjadi alat negara dalam mencapai tujuannya, mengingat Hukum Tata Usaha Negara mengatur sendi-sendi kehidupan yang sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tidak dapat melihat bagaimana negara mampu beraksi tanpa adanya aturan main yang jelas mengenai bagaimana aksi tersebut dilakukan, bagaimana mekanismenya, bagaimana keputusan-keputusan para Pejabat Tata Usaha Negara itu diatur, agar sesuai dengan kewenangannya dan tidak melanggar hak-hak warga negaranya. Semua itu merupakan bidang garapan Hukum Tata Usaha Negara.
Konstitusi kita juga telah secara tegas dan jelas mengatur mengenai kewenangan negara dalam upaya mencapai tujuan negara. Adanya ketentuan mengenai perekonomian nasional dan kesejahan sosial yang jauh lebih lengkap dibandingkan dengan sebelum perubahan UUD 1945 merupakan bagian dari upaya mewujudkan tujuan negara sebagai negara kesejahteaan (welfare state), sehingga rakyat dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Didalam rumusan Pasal 27, 33 dan 34 terkandung maksud untuk lebih mendekatkan gagasan negara kesejahteraan dalam Pembuaan UUD 1945 ke dalam realitas.
Negara Indonesia sebagai negara kesejahteraan, berarti terdapat tanggung jawab negara untuk mengembangkan kebijakan negara diberbagai bidang kesejahteraan serta meningkatkan kualitas pelayanan publik (public services) yang baik melalui penyediaan berbagai fasilitas yang diperlukan oleh masyarakat.


oo00oo
















DAFTAR PUSTAKA


Faried Ali, Msc., S.H., Drs. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Rajawali Pres.
Muchsan, S.H. Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1982.
Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., Dr., Prof., 2000, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,
PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Philipus M. Hadjon, S.H., Dr, Prof. dkk, 1993, Pengantar Hukum Adminitrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian Administrasi Law, Gadjah Mada University Press, Bulaksumur, Yogyakarta.
Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, 2006, Sekretariat Jenderal MPR RI.


oo00oo

Nining Sukardi: Kaisar dan Benih

Nining Sukardi: Kaisar dan Benih: "Ini adalah salah satu kisah inspirasional tentang integritas (kejujuran) Pernah ada seorang kaisar di Timur Jauh yang sudah tua dan tahu su..."

Kaisar dan Benih

Ini adalah salah satu kisah inspirasional tentang integritas (kejujuran)

Pernah ada seorang kaisar di Timur Jauh yang sudah tua dan tahu sudah datang waktunya untuk memilih penggantinya. Ia tidak memilih dari salah seorang asistennya atau salah satu dari anak-anaknya sendiri, tetapi ia memutuskan untuk melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda.

Ia memanggil semua pemuda di dalam kerajaan bersama-sama dalam satu hari. Dia berkata, "Ini telah datang waktunya bagi saya untuk turun dan memilih kaisar berikutnya. Saya telah memutuskan untuk memilih salah satu dari kalian." Anak-anak terkejut! Tetapi, sang kaisar melanjutkan. "Aku akan memberikan masing-masing dari kalian sebuah biji hari ini. Satu benih. Ini adalah benih yang sangat istimewa. Aku ingin kau pulang, menanam benih, disiram dan kembali ke sini satu tahun dari hari ini dengan apa yang Anda telah tumbuhkan dari satu biji ini. Aku akan menilai tanaman yang Anda berikan untuk saya, dan yang terbaik saya pilih dan akan menjadi kaisar kerajaan berikutnya! "

Ada seorang anak laki-laki yang bernama Ling berada di sana pada hari itu dan ia, seperti yang lain, menerima benih. Ia pulang ke rumah dan kepada ibunya dengan penuh semangat menceritakan keseluruhan cerita. Dia membantunya mendapatkan panci dan tanah penyemaian, lalu ia menanam benih dan menyiramny dengan hati-hati. Setiap hari ia menyirami itu dan memeriksa untuk melihat apakah telah tumbuh.

Setelah sekitar tiga minggu, beberapa pemuda lainnya mulai berbicara tentang bibit dan tanaman yang sudah mulai tumbuh. Ling terus pulang dan memeriksa benihnya, tapi tidak pernah tumbuh. Tiga minggu, empat minggu, lima minggu berlalu. Masih belum apa-apa.

Setiap saat orang lain selalu membicarakan tanaman mereka, namun Ling tidak punya tanaman, dan ia merasa gagal. Enam bulan berlalu, masiyang ada hanya pot. Dia hanya tahu bahwa ia telah membunuh benih. Orang lain pohon-pohon dan tanamannya tinggi, tapi dia punya apa-apa. Ling tidak berkata apa-apa kepada teman-temannya, namun. Dia hanya terus menunggu benih untuk tumbuh.
Setahun akhirnya berlalu dan semua pemuda dari kerajaan membawa tanaman mereka kepada kaisar untuk diperiksa. Ling mengatakan pada ibunya bahwa ia tidak akan membawa pot kosong. Tapi dia mendorongnya untuk pergi, dan untuk membawa poti, dan harus jujur tentang apa yang terjadi. Ling merasa malu, tapi ia tahu ibunya benar. Ia membawa potnya yang kosong ke istana.

Ketika Ling tiba, ia kagum melihat berbagai jenis tanaman tumbuh milik sluruh pemuda lain. Semua tanaman indah, dalam segala bentuk dan ukuran. Ling menaruh potnya yang kosong di lantai dan banyak pemuda lain menertawakannya. Beberapa pemuda menyindir kepadanya dan berkata, "Hei coba lihat ,bagus."

Ketika kaisar tiba, ia mengamati ruangan dan menyapa orang-orang muda. Ling hanya mencoba untuk bersembunyi di belakang. "Wah, tanamannya sudah besar, pohon-pohon dan bunga Anda telah tumbuh," kata sang kaisar. "Hari ini, salah satu dari kalian akan ditunjuk kaisar berikutnya!"

Tiba-tiba, sang kaisar melihat Ling di belakang ruangan dengan potnya yang kosong. Ia memerintahkan para penjaga untuk membawanya ke depan. Ling ketakutan. "Kaisar tahu aku gagal! Mungkin dia akan membunuhku!"

Ketika Ling sampai di depan, Kaisar menanyakan namanya. "Nama saya Ling," jawabnya. Semua anak-anak tertawa dan mengolok-oloknya. Kaisar meminta semua orang tenang. Ia menatap Ling, dan kemudian mengumumkan kepada orang banyak, "Lihatlah kaisar baru Anda! Namanya adalah Ling!" Ling tak mempercayainya. Ling tidak bisa menumbuhkan benihnya. Bagaimana ia bisa menjadi kaisar baru?

Kemudian kaisar berkata, "Satu tahun yang lalu dari hari ini, aku memberi semua orang di sini sebuah benih. Aku bilang Anda untuk mengambil benih, tanaman itu, menyirami, dan membawanya kembali kepadaku hari ini. Tapi aku memberi kalian semua benih yang telah direbus dan tidak akan tumbuh. Kalian semua, kecuali Ling, telah membawa saya tanaman dan pohon-pohon dan bunga. Bila Anda menemukan bahwa benih tidak akan tumbuh, Anda menggantinya dengan benih lain yang kuberikan padamu. Ling adalah satu-satunya dengan keberanian dan kejujuran untuk membawakan pot dengan benih yang saya berikan. Oleh karena itu, ia adalah orang yang akan menjadi kaisar baru! "

============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi, Idea Press, Yogyakarta. Hal. 159-161. ISBN 978-6028-686-402.

Minggu, 14 November 2010

Nining Sukardi: Karena Kusanggup (Agnes Monica )

Nining Sukardi: Karena Kusanggup (Lirik lagu ): "Biarlah ku sentuhmu B'rikanku rasa itu Pelukmu yang dulu Pernah buatku Ku tak bisa paksamu 'tuk tinggal di sisiku Walau kau yang selalu sak..."

Karena Kusanggup (Lirik lagu )

Biarlah ku sentuhmu
B'rikanku rasa itu
Pelukmu yang dulu
Pernah buatku

Ku tak bisa paksamu
'tuk tinggal di sisiku
Walau kau yang selalu sakiti
Aku dengan perbuatanmu
Namun sudah kau pergilah
Jangan kau sesali

Reff:
Karena ku sanggup walau ku tak mau
Berdiri sendiri tanpamu
Ku mau kau tak usah ragu
Tinggalkan aku
Huuu.. kalau memang harus begitu

Tak yakin ku kan mampu
Hapus rasa sakitku
Ku 'kan selalu perjuangkan cinta kita
Namun apa salahku
Hingga ku tak layak dapatkan kesungguhanmu

Back to Reff:

Tak perlu kau buat aku mengerti
Tersenyumlah karena ku sanggup

Rabu, 10 November 2010

Nining Sukardi: Garam dan Telaga

Nining Sukardi: Garam dan Telaga: "Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya..."

Garam dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi, datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tamu itu, memang tampak seperti orang yang tak bahagia. Tanpa membuang waktu, orang itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama. Ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Ditaburkannya garam itu kedalam gelas, lalu diaduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya..”, ujar Pak tua itu.
“Pahit. Pahit sekali”, jawab sang tamu, sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum. Ia, lalu mengajak tamunya ini, untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat tempat tinggalnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan, dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.
Pak Tua itu, lalu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk-aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga itu. “Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah. Saat tamu itu selesai mereguk air itu, Pak Tua berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.
“Segar.”,… sahut tamunya. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya Pak Tua lagi.“Tidak”, …jawab si anak muda.
Dengan bijak, Pak Tua itu menepuk-nepuk punggung si anak muda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah. Pahitnya kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.
“Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”
Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”
============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi, Idea Press, Yogyakarta. Volume 1. Hal. 65-66. ISBN 978-6028-686-402.

Selasa, 09 November 2010

Oh...

Ketika rasa telah hilang
tak ubahnya bagaikan benda mati
Hampa .... tanpa warna

Ketika seseorang tidak lagi menyayangi
Ketika seseorang acuh
Bagaikan raga tanpa nyawa
Tanpa rasa bagaikan benda mati

Rasa itu pun mati
Tanpa kita tahu
Rasa itu pun pergi
Tanpa kita tahu

Sesungguhnya hanya Dia yang mengerti
Kenapa harus seperti ini
Tidak dapatkah semua lebih indah
Lebih berwarna

Terasa nyaman
Terasa syahdu

Mungkin semua itu hanya dalam angan
Oh Tuhan pemilik semesta alam
Yang maha besar
Yang selalu mengabulkan doa hambanya

Indahkanlah hidup di dunia ini
Agar semua orang
Dapat merasakan dunia terindah

Ataukah hati ini
Yang tak bisa merasakan keindahan-Mu

Rumah untuk Tukang Kayu

Seorang tukang kayu senior sudah siap untuk pensiun. Dia mengatakan kepada majikan-kontraktor tentang rencananya untuk meninggalkan pekerjaan tukana membangun rumah danakan menjalani kehidupan yang lebih santai dengan istrinya bersama keluarga besarnya.

Dia akan kehilangan gaji, tapi ia harus pensiun. Kontraktor menyesalkan untuk melihat pekerja yang baik pergi dan bertanya apakah ia bisa membangun hanya satu rumah lagi untuk pribadi. Tukang kayu menyanggupi, tetapi pada saat itu kelihatannya ia bekerja tidak dengan hati yang tulus. Dia seperti terpaksa , bekerja denganburuk dan bahan yang digunakan bermutu rendah. Itu adalah cara yang tidak bagus untuk mengakhiri karirnya.

Ketika tukang kayu menyelesaikan pekerjaannya dan si tukang bangunan datang untuk memeriksa rumah, kontraktor menyerahkan kunci pintu depan ke tukang kayu. "Ini adalah rumahmu," katanya, "hadiah saya kepada Anda."

Tukang itu terkejut! Sayang, ! Menyesal! Kalau saja ia tahu ia sedang membangun rumahnya sendiri, ia akan melakukan itu semua secara berbeda. Sekarang ia harus tinggal di rumah yang dia bangun dengan asal-asalan.

Demikian juga dengan kita. Kita membangun hidup kita dalam kebimbangan dan kebingungan, mengeluh tapi tidak bekerja dengan baik, bersedia tetapi tidak sungguh-sungguh. Pada intinya kita tidak melakukan pekerjaan terbaik kita. Kemudian dengan terkejut kita melihat keadaan kita telah menciptakan dan ternyata kita sekarang hidup di rumah kami telah kita bangun. Kita akan Menyesal andai saja kita akan melakukannya dengan cara berbeda.

Pikirkan diri Anda sebagai tukang kayu. Pikirkan tentang rumah Anda. Setiap hari Anda bekerja dengan palu, paku, memasang papan, atau mendirikan sebuah dinding. Bangun dengan bijaksana bijaksana. Anggap Ini adalah satu-satunya yang pernah kerjakan sekali dalam hidup, membangun. Bahkan jika Anda hidup itu hanya untuk satu hari lagi, hari itu layak untuk dijalani dengan anggun dan dengan bermartabat.


============================================
Sumber artikel, dari buku:
Sudarmono, Dr.(2010). Mutiara Kalbu Sebening Embun Pagi, 1001 Kisah Sumber Inspirasi. Yogyakarta: Idea Press. Volume 1. Hlm 122-123. ISBN 978-6028-686-402.

Minggu, 07 November 2010

Nining Sukardi: Writing Skills - how to communicate information qu...

Nining Sukardi: Writing Skills - how to communicate information qu...: "It will briefly explain how to target your writing, structure an outline and write your piece effectively. Targeting your writing It is es..."

Writing Skills - how to communicate information quickly and effectively

It will briefly explain how to target your writing, structure an outline and write your piece effectively.

Targeting your writing

It is essential to have a clear idea of who your reader is. You should know why he or she is going to be reading your piece, where and when they will be reading it, and what they will want to get out of it.

Knowing this, and knowing what information you want to convey allows you to decide an aim for the article. You should focus all decisions on content, structure, style and presentation on meeting this aim.

Preparing an outline

Once you have decided the aim of the article, you are ready to prepare an outline. This allows you to start to organise the information in an article into a coherent structure. If you start writing without an outline you are in danger of producing a disorganised, chaotic mess that confuses your reader and fails to make the desired connections in his or her mind.

If you have researched the article by using a Mind Map or by noting conventionally, an effective way of producing an outline is to open up a Word Processor document and to type in the facts that you have decided to include. You can then cut and paste these notes into related groups, and order these groups in a way that supports your argument.

Once you have selected information and organised a structure, prepare an outline of the introduction and summary. The shape of these should be obvious from the structure you have given your information. The introduction should help the reader to prepare an overall structure into which the information in the article can be fitted. The summary should organise the facts in the middle of the article into a coherent whole.

Writing your piece

When you have prepared your outline, it is time to start writing!

The easiest way of doing this is just to let the words and ideas flow. Move quickly through the piece without editing or reviewing it. This will help to keep your creativity flowing without it being crippled by self-criticism.

Only when you have finished a section should you review it. At this stage you may decide to reorganise it, edit it, change it around, and add or delete information. As you review it you should check that what you have written meets the aim you set and gives the reader the information they want.

Style

The style of the article should be completely focused on the reader's needs. Language used should be pitched at the appropriate level for the reader.

People generally prefer information presented in short sentences with little or no jargon. You may be tempted to write in a way that you think will impress your readers, using long words and complex sentences. All this shows is that you are not able to communicate ideas clearly and simply. It is likely that material written like this will not be read at all.

If you need to use technical language that may not be understood, include a glossary.

Remember that you have responsibility for the clarity, effectiveness and focus of your communication. Beyond this, style will emerge on its own without you needing to worry about it.

Summary

It is essential to know who you are writing for, and what they will want from your writing. Once you know this you should know precisely the level you are writing at and what information to include.

Preparation of an outline helps you to give structure to your piece. An effective way of doing this is to transfer notes into a WP document, and then cut and paste words and sections into a coherent form.

Including an introduction and summary helps readers to structure information in their minds.

When you write, try to let words and ideas flow. Only edit and review a section once you have completed its first draft. As you review it, ensure that the material meets the aim you set for the piece.

The style of the piece should be focused on the readers needs. Avoid trying to impress people with your knowledge.

Remember that the responsibility for effective communication lies with you!

AYAH… sudahkah mencoba ngobrol dengan anak-anak? Alhamdulillah jika sudah dan teruskan hal itu sesering mungkin sambil kita belajar terus...